Jumat, 10 Oktober 2008

Hemat atau Buka Usaha

Seorang rekan sempat mengeluhkan rekening listrik dan air di rumahnya yang sederhana membengkak beberapa bulan terakhir ini. Tagihan listriknya yang biasanya hanya terpatok kisaran Rp100 ribuan, kini menyentuh angka Rp220 ribu. Hampir dua sekian kali lipat. Sedangkan tarif air yang biasanya hanya duduk manis di level Rp80 ribu, kini berakrobat hingga Rp160 ribu. Dua kali lipat dari posisi semula.

Hal ini akan makin diperparah, kerena seiring menularnya krisis keuangan Amerika ke negara-negara lain termasuk Indonesia, beberapa instrumen lain sudah siap antre untuk naik, misalnya kebutuhan sembako dan lainnya. Artinya, harus lebih kian hemat lagi, kian ketat lagi.

Padahal bicara soal berhemat, masyarakat kecil sudah tak perlu lagi diajar. Segala daya upaya hingga trik baik dari tukang ojek maupun pakar manajemen keuangan sudah dilakukan.

Sampai-sampai, mereka sudah tak bisa lagi membedakan mana namanya hemat atau tidak, karena memang kesehariannya selalu dilalui dengan pengetatan demi pengetatan anggaran.

Kadang, baru saja mau mutar keran untuk mandi sudah terbayang berapa tagihan yang akan ditanggung bulan depan. Demikian juga saat akan menghidupkan saklar lampu. Padahal semua neon sudah diganti lampu hemat energi. Begitu terus, hingga menjalar pada keperluan lain.

Mima, sebut saja begitu, seorang ibu rumah tangga kalangan menegah memilih kiat makan dulu sampai kenyang sebelum berbelanja ke supermarket atau pasar. Hal ini dilakukan agar tidak tergoda untuk jajan lagi, saat melihat aneka makanan dan minuman yang dijual di sana.

Trik lain, masuk dalam ”asosiasi” ibu-ibu pemburu harga grosir dan kupon diskon. Di mana ini digelar, di sanalah dia belanja. Tentunya hanya keperluan yang penting-penting saja.

Selanjutnya, menggunakan ”ajian sapu jagad”. Artinya, mencuci hingga menyetrika setelah bahannya sudah menggunung. Dengan demikian, terhindar dari pemakaian listrik dan air yang berulang-ulang.

Ada pula keluarga lain yang mulai memilah anggaran keuangannya dengan membuat instrumen tabel yang mereka kutip dari majalah, seperti ini.

Tabungan: Rekening umum, rekening darurat, rekening khusus (dana pendidikan, dana pensiun, tabungan haji).

Cicilan Utang: Cicilan rumah, kendaraan, pinjaman bank, tagihan kartu kredit, pinjaman lain, premi asuransi jiwa, premi asuransi kesehatan, premi asuransi harta benda, amal.

Keperluan Hidup: Tagihan bulanan (listrik, air, telepon, kebersihan), iuran bulanan sekolah, belanja bulanan, belanja mingguan, belanja harian, transportasi, bengkel, uang saku anak sekolah, uang makan orang tua di kantor, keperluan sekolah anak (alat tulis, ekstra kulikuler), iuran les anak, gaji pembantu rumah tangga dan baby sitter.

Gaya Hidup: Langganan koran dan majalah, langgan TV kabel, penyaluran hobi, pulsa telepon, akses internet, fitnes, rekrasi keluarga, uang jajan anak di akhir pekan, salon, busana, arisan.

Anggaran Tahunan: Perayaan hari raya keagamaan, perayaan hari ulang tahun, hadiah kenaikan kelas, pernaikan/perawatan rumah, membeli perangkat elektronik.

Investasi: Rekening investasi (deposito, reksadana), investasi non-keuangan (emas, perhiasan).

Tabel ini tentunya harus disesuaikan dengan kemampuan keluarga, karena tak semua bisa memenuhinya. Apalagi untuk kaum pas pasan, tentu akan banyak yang dicoret. Namun, paling tidak tabel ini dirasa bisa membantu agar lebih terorganisir.

Apalagi jika penghasilan keluarga hidup dari gaji bulanan, maka ibarat orang ambil air di sumur hanya dapat sebulan sekali, sehingga harus pandai-pandai memanfaatkan air yang ada. Belum lagi jika ember yang digunakan sangat kecil, tentu pemakaiannya akan lebih ketat.

Kiat lain selain berhemat, dengan cara membuka usaha kecil-kecilan agar cadangan ”air-nya” bisa cukup bila paceklik tiba, meski kadang jumlahnya tak menentu; bisa banyak, bisa sedikit atau bahkan bisa lebih besar dari biasanya. Ini namanya entrepreneur.

Akhirnya selamat berhemat, selamat berkiat. Biar selamat, dahulukan keperluan dari keinginan.

Tidak ada komentar: