Senin, 27 Oktober 2008

Juvenile Deliquency vs Global Village

Berita kenakalan remaja kembali menyeruak di kota ini. Kali ini ”genre” yang mereka usung adalah pergaulan bebas, tinggal sekamar tanpa ikatan. Reaksi publik bagaimana?

Ada yang tersentak, lalu memvonis dan menyalahkan satu sama lain. Tentu saja yang jadi sasaran orang tua, peranan sekolah hingga pemilik hotel itu sendiri. Ada juga yang bersikap biasa saja. Dengan mengusung moderenitas kota besar.

Sebenarnya, kenakalan remaja bukanlah milik orang di abad moderen ini. Di zaman Nabi Adam, kita tentu sudah menganal siapa itu Kabil yang tega membunuh Habil, saudaranya sendiri. Sejarah juga mencatat, di deretan ke sembilan sunan, kita menganal Sunan Kali Jaga yang semasa bernama Raden Mas terkenal kebengalannya.

Apa penyebabnya? Tentu saja pengaruh lingkungan yang mendorong perilaku itu sendiri. Perilaku yang selalu berdasar pada biologi, psikologi dan sosiologi.

Dulu lingkungan hanya diartikan sebatas wilayah dalam arti sempit; rumah, kampung atau sekolahan. Namun kini seiring globalisasi komunikasi dan informasi, lingkungan sudah tak lagi sesempit itu.

Lingkungan apa yang dikatakan pakar komunikasi awal abad 20 Mc Luhan, sebagai global village (desa global). Di mana interaksi penduduk tak lagi dibatasi ruang, waktu dan wilayah.

Sebenarnya yang berbahaya bukan masalah global village-nya, namun efek instrumen yang dibawaya, yaitu teknologi informasi.

Seperti kita ketahui, informasi adalah komunikasi yang bergerak. Tuganya mempengaruhi audience-nya. Karena berdasar namanya, komunikasi semula berasal dari kata “komunis” berati sama.

Di sini efek komunikasi selalu mencari kesamaan persepsi akan sesuatu. Melalui beragam teknik, mulai apa yang disebut jarum suntik hingga bola saju, efek ini dapat membuat orang meniru atau disebut identifikasi dan imitasi. Caranya, melalui beragam teknik, mulai apa yang disebut jarum suntik hingga bola saju.

Dulu kita bisa saja mengunci siaran televisi di rumah dengan sistem partental lock, namun kini sudah tak bisa lagi. Dengan ponsel di tangan, si anak dapat mengakses semua informasi tadi.

Jadi, meski mereka berada di sebuah ruang tertutup pun mereka mampu mendapat akses program ideologi baru, kekerasan hingga seksualitas. Jika tanpa sandaran dan bekal yang cukup, maka efeknya bisa mempengaruhi mereka.

Tak heran, jika dulu kenakalan hanya sebatas menyentuh remaja lelaki saja, kini juga menular hingga anak sekolah dasar. Inilah yang disebut juvenille delequency.

Baru-baru ini kita tentu mendengar bagaimana kekejaman geng Nero, geng siswi SMA di Pati, Jawa Tengah. Belum lagi lidah kita kering berdecak miris, kita sudah dikejutklan akan perilaku Geng Brinkar, genk siswa anak SD Gunung Pereng, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Setelah dirazia, sebanyak 15 kartu anggota geng yang berasal dari singkatan Bring Kadiue Bring Kaditu (ramai-ramai ke sana ke mari), berhasil diamankan.

Kondisi masa remaja merupakan masa mencari identitas, menjadi pupuk subur untuk mempengaruhi perilakunya. Ada yang berhasil mendapat identitas dengan menorehkan prestasi di sekolah, namun yang gagal mereka akan mencari pengakuan dengan cara memamah semua informasi tanpa mengolahnya terlebih dulu.

Ada yang terjebak pada ideologi brain wash, ada juga yang tertaut pada pola pergaulan bebas, hanya karena mereka melihat banyak artis yang jadi pembicaraan karena sering gonta-ganti pacar atau kawin cerai.

Dari semua uraian ini, memang menangani juvenille delequency di zaman ini teramat susah. Namun, bukan berarti dibiarkan sama sekali. Kita dapat bergerak dengan cara mengetahui akar masalah, hingga faktor-faktor penunujangnya. Untuk itu, orang tua, sekolah, pemerintah dan DPRD harus kian giat bergerak lagi, tentunya berdasar wilayah masing-masing.

Orangtua harus lebih giat memantau dan membimbing (bukan membatasi) si anak, mulai dari pergaulan hingga serapan informasi apa yang mereka terima. Jangan pelit memberikan kompensasi positif pada anak dengan giat mencari apa keunggulannya. Semua anak Adam pasti memiliki keunggulan, sebagaimana firman Allah.

Jangan terjebak menilai keunggulan anak dengan hanya terpaku pada ranking, juara atau prestasi publik lain, lalu membanding-bandingkan. Hal ini hanya akan membuat si anak merasa kesuilitan mencari identitasnya, sehingga mencari pengakuan lewat hal-hal negatif.

Adapun peran guru kurang lebih sama, cuma lingkupnya di sekolah. Yang penting Jangan hanya melihat Intelligence quotient-nya saja, eqmosional quotient juga harus diperhatikan. Kalau hanya cerdas tapi tak terkendali, kadang merepotkan juga.

Sedangkan peran pemerintah, harus kreatif melihat perkembangan zaman, agar dapat membikin perangkat untuk mengantisipasi agar masalah ini tak kian subur dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Khusus kasus bobok bareng di hotel, misalnya, pemerintah harus lebih ketat lagi menerapkan aturan dan pemantauan agar pengelola penginapan mulai kelas kaki lima hingga berbintang, lebih ketat lagi menyeleksi tamu-tamunya. Terutama bagi anak remaja.

Karena kita tak bisa membendung semua pengaruh ini datang pada remaja, kita hanya bisa memilih dan mengarahkannya saja.

Tidak ada komentar: