Kamis, 09 Oktober 2008

Kunjungan Zein

Rabu (8/10), pukul 11.00, ponsel saya berdering. Zein Alatas memanggil.

“Assalamualaikum ya Akhi?” sapa saya.

“Waalaikum salam. Ba’da Zuhur nanti saya ke rumah Antum. Sekarang saya sedang ada urusan di KPI Batam (Sekupang),” jelasnya.

Rupanya Bang Zein ingin menepati janjinya bertemu dengan saya, setelah radio dakwah Hang FM yang dikelolanya terbakar pada Minggu kelabu itu, bersama dengan kebakaran yang melanda ruang belakang Carnavall Mall, Batam Center.

Sayapun langsung menelepon istri agar menyiapkan segala sesuatunya. “Habis Zuhur kita akan kedatangan Bang Zein, muliakanlah dia,” pinta saya.

“Apa yang harus kita siapkan Yah (istri saya memanggil saya ayah)?”

“Siapkan hati saja. Hati yang bersih, insyaallah Allah akan mengerti niat baik kita dan menyejukkan aura rumah kita. Bersihkan juga ruang tamu. Minuman kaleng dari Bang Hasan (Pimpinan di kantor saya) masih ada kan?”

“Masih. Ada juga kue oleh-oleh kakak dari KL (Kuala Lumpur).”

“Ya udah, sediakan semuanya,” saya menutup pembicaraan.

Hingga pukul 12.45, ponsel saya kembali bedering. Zein lagi. “Rumah Antum yang cat kuning itu ya?” tanyanya. Ternyata dia sudah sampai di rumah saya, komplek Orchard Suite Batam Center.

“Bukan Akhi, yang cat hijau. Abang sabar ya, saya sudah dalam perjalanan pulang,” balas saya. Sehari itu saya dilanda kesibukan total, belum lagi meriang akibat kehujanan di hari Selasa.

Memang setiap Selasa dan Rabu saya selalu full di lapangan mulai pagi sampai sore. Kalau sedang ‘’beruntung”, pukul 19.00-23.00 saya harus kembali ke lapangan, ke pelosok-pelosok Batam. Sedihnya jika saat itu giliran mati lampu, jadi tak tega meninggalkan keluarga di rumah sendirian (cengeng banget ya… Atau romantis?).

Saat Bang Zein menelepon itu, saya sedang merasakan sengatan matahari di boncengan motor Jamil, rekan saya yang baru menikah, usai berkunjung ke kantor Penanggulangan Bahaya Kebakaran Otorita Batam di Duriangkang sejak pagi tadi.

Sebelumnya saya sempat menjelaskan pada Bang Zein posisi saya ini. “Saya hanya bawahan Bang, tempat saya di lapangan, bukan di kantor.” Diapun mafhum.

Akhirnya pertemuan itu terjadi. Rupanya dia mengajak dua rekannya serta yang dia perkenalkan sebagai petinggi di Hang FM.

Saat itu Bang Zein mengenakan baju koko warna biru dongker dan celana kain putih di atas mata kaki. Janggutnya kian lebat, bak para sufi Parsi. Dahinya pun kian menghitam, tanda rajin sujud. Yang agak pangling, tubuh Bang Zein lebih gemukan dibanding saat saya bertemu di kantornya, Januari 2008 lalu.

Usai salaman sembari bermaafan karena masih nuansa lebaran, tergopoh saya mempersilakan Bang Zein masuk.

“Ana minta maaf sama Antum. Bolehkah saya salat (zuhur) di rumah ini?”

“Ya akhi, suatu kebahagiaan bagi muslim seperti saya jika Antum mau salat di sini. Tak perlu minta maaf, itu kewajiban.”

“Di mana tempat wudunya Za?” tanyanya, lalu saya membimbing ke belakang.

“Nanti Abang salat di ruang tengah saja ya, jangan di sini (ruang tamu). Karena abang mengharamkan ini,” jelas saya menunjuk lukisan 8 kuda jantan berlari dibingkai 2 meter x 180 cm yang terpajang di sisi barat dinding ruang tamu rumah.

Saat Bang Zein salat, pikiran saya tak henti mengenang masa-masa kejayaannya dulu. Sebelum mengharamkan musik, Bang Zein dulu adalah orang yang sukses dalam materi. Pergaulannya luas, posisinya sebagai ketua Batan Jazz Forum membuatnya dia dekat dengan beberapa musisi jazz top ibu kota, seperti pianis Idang Rasyidi hingga saxoponis almarhum Embong Raharjo.

Adiknya, Oepet Alatas, juga tercatat sebagai musisi jempolan. Dulu posisinya sebagai pembetot bass grup Band Gigi.

Di tingkat lokal, Bang Zein juga banyak berkawan dengan pengusaha top dan pejabat tinggi daerah, tentu saja juga para wartawan. Kadang para kuli tinta ini yang dulu kerap dibantunya, jika ada masalah keuangan mendera.

Saya sendiri mengenal bang Zein saat dia membuat studio rekaman. Namun setelah itu komunikasi kami terputus, hingga Allah mempertemukan saya kembali pada delapan bulan lalu.

Namun setelah ‘’pesta” berakhir, seleksi alam terjadi. Bang Zein kini bisa melihat mana kawan ‘’meja makannya” dan mana kawan sejatinya.

***
Usai salat Bang Zein kembali ke ruang tamu. Dia tak mau duduk di kursi, dan memilih duduk di lantai saja. Selanjutnya, dia menanyakan keluarga saya. “Oh ya Bang, ada yang mau saya perkenalkan,” jawab saya sembari beringsut menuju kamar.

Saya lalu menuju kamar belakang, lalu mengambil putri saya yang saat itu dia asyik di pelukan ibunya. “Ini Bang namanya Regalia Khairunnisa.”

“Berapa umurnya Za?”

“Lima bulan Bang,” jawab saya, lalu mendekatkan Regalia pada bang Zein. Rupanya bayi saya suka melihat janggut putih Bang Zein yang kini ujungnya menyentuh dada. Regalia terus mengumbar senyum.

“Dia tak takut sama orang ya Za. Ha ha ha…”

“Bayi ini peka Bang. Nuraninya masih bersih, sehingga bisa merasakan hawa orang baik dan orang jahat.”

“Oh gitu ya, ha ha ha…”

“Ya Bang. Jika Abang ingin melihat nafsun mutmainnah (jiwa yang tenang), dan nurani yang bersih, lihatlah bayi Bang.”

“Kalau tak salah, ini yang Antum perkenalkan dulu ya?”

“Ya Bang. Saat itu, dia masih 6 bulan dalam kandungan ibunya.”

Memang Januari lalu, kami bertemu Bang Zein. Saat itu saya dan istri sedang mencari nama-nama bayi Islam di Islamic Corner, unit usaha Hang FM yang letaknya satu atap di belakang Carnavall Mall itu. Tak hanya itu, selama dalam kandungan Regalia selalu diperdengarkan lantunan ayat Alquran dari Hang FM mulai pagi hingga pagi lagi.

“Gendonglah Bang,” pinta saya. Bang Zein pun menyambut.

“Wah, jadi ingin punya cucu lagi Za,” candanya. Regaliapun senang, terus terseyum. Momen ini sampai-sampai saya abadikan dengan kamera.

Setelah puas bercanda dengan Regalia, akhirnya saya kembalikan dia ke pelukan ibunya. Pembicaraan pun digelar, tentunya soal Hang FM.

“Qadar Allahu wa maa sya’a fa’ala. Kita wajib sabar dan rida. Apa yang Allah takdirkan itu yang terbaik buat kita. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa taala mengganti yang lebih baik. Insyaallah radio Hang FM akan bangkit lagi untuk tetap berdakwah di media,” bukanya.

Menurut Bang Zein, pasca kebakaran itu semua musnah di lalap api. Yang tersisa kini hanya perjuangan dan semangat untuk terus berdakwah. Untuk itu, Bang Zein memindahkan sementara radionya ke sebuah ruko di Batuaji, daerah penyanggah, jauh dari pusat kota Batam.

“Sekarang (Hang FM) tetap mengudara Za, tetap 24 jam. Namun frekuenseinya tinggal 300 watt saja, dari 7.000 watt,” terangnya. “Karena itulah tadi saya ke KPI, tujuannya untuk mengurus izin sementara. Maklum, frekuansi di Batam susah,” jelasnya.

Bang Zein sedikit berkisah, bagaimana perasaan hatinya kala api melalap Hang FM. Dia hanya bisa terpaku, “Mau bagaimana lagi. Tak mungkin saya panik, lalu ikutan masuk ke dalam. Biarkanlah pemadam kebakaran yang bekerja.”

“Di tengah galau dan merenung itu, apa yang Abang lakukan?”

“Saat itu saya SMS Antum.”

“Kenapa saya Bang? Kenapa saya yang Abang ingat?”

“Entahlah Za.”

“Saya padahal tak pernah mengingat Abang. Lagi pula, saya orang kotor Bang!”

“Ah sudahlah, saya tahu siapa Antum!”

Zein melanjutkan, setelah api padam, akhirnya dia mencoba bangkit lagi. Selanjutnya dia langsung ke Tanjungpinang untuk mengambil pemancar sementara.

Memang, selama ini Radio Hang FM telah memecah membentuk unit-unit radio dakwah baru yang berada di tiap kota di Provinsi Kepri. Setelah di Tanjungpinang, lalu Karimun. ”Bahkan saat ini, kami tetap mempersiapkan berdirinya radio dakwah di Lingga,” kisahnya.

Selain unit penyiaran, Hang FM juga membentuk unit usaha yang bernama Islamic Corner. Letaknya di lantai dasar belakang Carnavall Mall, satu atap dengan studio Hang FM.

Di sini dujual segala hal yang berbau Islam, mulai busana, buku-buku hingga pengobatan. Bahkan unit ini bersiap membentuk usaha pangkas rambut untuk jamaah haji (tahallul). “Ini membuktikan bahwa banyak potensi dalam islam yang bisa kita garap,” jelas Bang Zein.

Namun kini, semua musnah dilalap api. “Ada yang bilang ada unsur sabotase (dibakar). Tapi saya tak pedulikan itu, karena semua berjalan sesuai ketentuan Allah,” lanjutnya.

“Lagian tak mungkin Bang. Karena awal api berasal dari toko mebel, selain itu pemiliknya, Bu Margaret tampak marah-marah. Ini berarti tak ada sabotase,” jelas saya.

Lalu, saya menjelaskan ke Bang Zein kenapa Hang FM terkena imbas kebakaran. Agar mudah, saya mengambil kertas yang saya bentuk mirip cerobong.

“Nah, beginilah bentuk ruang belakang Carnavall Mall Bang. Semua tertutup, jalan keluar hanya ada di ujung kanan dan kiri. Hang FM ada di tengah. Saat ujung kanan terbakar, maka sifat api akan mencari oksigen dan melawan gravitasi. Karena semua tertutup beton, api pun menyebar menuju jalan keluar di sebelah kiri. Inilah mengapa Hang FM tersambar. Derajad panas yang dihasilkan lebih panas dari titik api pertama,” jelasku.

“Hmmm. Begitu… Makanya saya bertekad dakwah harus tetap jalan. Namun tetap sesuai dengan jalan Allah. Ya syukurlah, ada saja yang simpati,” jelasnya, sembari menolak usulan untuk minta sumbangan. Menurutnya itu kurang baik.

“Balasan SMS Antum yang meminta saya sabar itulah yang saya resapi. Memang sabar lebih mudah diucap dari pada dijalankan, tapi itulah kodrad manusia. Mulut kita kadang bilang sabar, tapi hati kita kadang gundah. Itu sama saja (bohong),” jelasnya.

“Memang kunci ibadah itu di hati Bang, bukan di pikiran,” jelas saya.

Pembicaraan ini terpotong oleh bunyi ponsel. Rupanya punya rekan Bang Zein. Tak lama dia terlibat pembicaraan serius, lalu telepon ditutup.

“Maaf, saya harus buru-buru ke Harbourfront (Batuampar). Serombongan pendengar kita di Singapura, telah tiba di sana. Mereka ingin melihat puing-puing kebakaran Hang FM,” jelasnya. Lalu dia berganjak pergi.

Tak lama, kami terlibat percakapan lain. Hingga akhirnya, sekitar pukul 14.30, bang Zein mohon diri. Saat hendak melangkah ke teras, Bang Zein mengangkat ponselnya lalu terlibat pembicaraan serius. Dari sana saya tahu bahwa Bang Zein tak memakai ringtone, hanya nada getar saja. Rupanya musik benar-benar haram di hatinya.

----------------
Hutan belantara seseorang adalah tempat bermain bagi orang lain...

Tidak ada komentar: