Minggu, 19 Oktober 2008

Inferioritas Complex

Siksaan pengalaman yang buruk adalah siksaan pada nurani yang hidup.

Kita mungkin memiliki kenangan masalalu kurang menyenangkan, semisal kemiskinan, penindasan dan semacamnya yang lalu membikin trauma atau dendam pada keadaan masa lalu. Bahkan saat itu kita sudah menghayalkan apa yang akan dilakukan jika suatu saat terlepas pada kondisi ini.

Saat masa kanak-kanak, kawan sepermaianan saya banyak dari anak-anak kurang mampu. Mereka kebanyakan merasa sekali lagi merasa kurang diterima bergaul dengan kalangan berada atau berkuasa, sehingga menimbulkan rasa minder dan rendah diri saat bersosialisasi dengan kalangan berada atau berkuasa.

Mereka mulai dendam akan keadaan, sehingga mulai berhayal langkah apa yang akan dibuatnya jika suatu saat menjadi orang kaya. “Nanti saya akan beli mobil, lalu akan saya bawa tiap hari melintas rumah Pak Haji itu, biar dia tahu siapa aku!” katanya.

“Ah, tengok saja nanti saya mau melamar jadi perwira, biar Pak Sersan itu hormat pada saya!” timpal yang lain.

Inilah yang disebut inferioritas komplek. Sebuah respon dari beragam perasaan rendah diri akibat dendam dan keinginan pada masa lalu yang kurang beruntung.

Inferioritas komplek ini hanya dapat dilihat pada orang-orang yang sudah berhasil, entah dalam harta atau kekuasaan. Bagaimana kesehariannya? Biasanya, banyak sikap-sikap yang dipertunjukkan kurang wajar.

Seorang rekan pernah berkisah, di kantornya ada tukang kebun tamatan sekolah rendah. Karena nasib yang beruntung, dia bisa menjabat posisi penting tak kalah dari para sarjana.

Apa yang terjadi, si rekan ini sangat “resisten” dengan kalimat perintah. Jika ada rekannya yang minta tolong, selalu saja menolak. Meski itu kadang hal-hal yang kecil. Dia hanya akan mau jika yang minta tolong itu atasannya saja.

Ada juga artis baru yang dulunya miskin. Namun setelah impiannya tercapai, malah sibuk gonta-ganti cewek, padahal dia sudah beristri. Rupaya dulu dia sempat tertekan hingga terobsesi oleh kisah artis yang kawin cerai.

Selain itu ada juga yang bertingkah ingin tampak bos saat di dalam kantor dan ingin tampak punya jabatan saat di luar. Semua ini dia asopsi dari pengalaman masa lalu. Apa yang dia lakukan sekarang, begitulah yang dia persepsikan dulu.

Jika tak segera dikendalikan dengan cara introspeksi, inferioritas komplek ini akan bermuara pada krisis yang lebih berbahaya, dengan apa yang disebut krisis krisis eksistensi.

Dia ada, tapi merasa tak ada. Dia kaya, tapi dibuat takut oleh kekayaannya. Dia berkuasa. Tapi dibikin takut oleh kekuasaannya, dia hebat tapi merasa tak hebat.
Misalnya ada orang kaya akan sangat ketakutan jika hanya memakai telepon genggam murahan. Atau takut jika suatu saat mobilnya harus berganti ke CC yang lebih rendah dan sebagainya.

Ada juga seorang bos yang selalu resah dan selalu ingin selalu tampil hebat di depan bawahannya. Maka mulailah dia membikin tingkah laku tak biasa, misal sok jaga image, atau sok tahu akan segala hal.

Atau seorang pejabat yang selalu ingin dikawal meski sebenarnya itu tak perlu. Dia takut jika dipandang orang tak berkuasa, dia takut jika suatu saat merasa kalah dan sebagainya.

Yang dia takutkan sebenarnya tidak nyata, yang dia takutkan hanyalah perasaannya saja.
Namun ini hanyalah krisis, bukan penyakit. Intinya kadang ada kadang juga tiada.

Tidak ada komentar: