Selasa, 07 Oktober 2008

Danny Ismeth (2)

Lama diskusi, akhirnya saya gatal juga menanyakan apa program andalannya jika duduk di DPR kelak. Danny menyoroti perusahaan multi nasional di Batam, yang level manejernya banyak diisi oleh orang-orang asing.

“Mestinya orang kita juga harus diberi kesempatan mengisi jabatan itu. Jangan hanya di level buruh saja,” jelasnya.

Danny juga akan mencanangkan program peningkatan masyarakat usaha. Program ini mengajak seluruh masyarakat menjadi wirausaha, jadi lebih maju dari program UKM yang selama ini dicanangkan.

Dari sini saya megusulkan, agar Danny menambahkan program memasyarakatkan ekonomi syariah. “Kita ini mayoritas Muslim, tapi kenapa sangat resisten saat berbicara syariah. Mestinya hal ini tak dipandang dari sudut pandang sempit?” sebut saya.

Saya mencontohkan Filipina yang mayorityas Katolik, sangat welcome pada ekonomi syariah ini. Dan terbukti, di saat sistem ekonomi dunia kolap, seperti kapital, ekonomi syariah masih mampu bertahan.

‘’Hal ini terletak dari sudut pandangnya yang meletakkan uang sebagai penunjang transaksi, bukan objek transaksi. Sehingga selalu ada cadangan Pak. Ah, bapak orang bank, pasti lebih paham dan ahli dari saya,” jelas saya. Danny pun mafhum.

Yang saya tertarik saat Danny bercerita tentang kesukaannya melalap buku. “Sejak masih SD saya selalu dihadiahi buku bacaan oleh bapak (Ismeth Abdullah),” jelasnya, menerangkan awal mula kegemarannya membaca ini.

Hingga kini Danny rajin mengoeksi buku bacaan. Bahkan di sela-sela perbincangan kami, datang seorang anak muda membawa buku bertulis, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Batam. Danny masuk di urutan angka 20-an. Buku ini disusun oleh Edy, penulis lokal yang juga dikenal memiliki kemampuan melobi.

“Hati-hati Pak Danny, biasanya orang yang suka membaca itu susah mendengar. Begitu juga sebaliknya, orang yang suka mendengar sulit untuk membaca,” ingat saya.

“Oh begitu ya?”

“Tapi jangan khawatir Pak, Anda bisa menghindari hal ini. Caranya harus mengimbangi melihat dunia luar, seusai Anda membaca. Supaya pikiran kita tak terkurung oleh alam buku dan doktrin pengarangnya Pak. Demikian juga sebaliknya,” lanjut saya.

Begitulah, diskusi berlangsung lama. Di sela-selanya, Danny kerap berkata, “Kayaknya saya pernah ketemu Anda ya? Tapi di mana?” dahinya berkerut, dia berupaya menggali pikirannya.

“Ya, saya memang pernah bertemu Pak Danny, tapi Pak Danny tak akan mungkin mengingatnya. Orang terkenal seperti Anda biasanya susah mengingat orang seperti saya,” jawab saya.

Danny pun kian serius. Diskusi berlanjut. Banyak yang kami bahas, mulai soal seni kepeminpinan, organisasi, komunikasi massa, kegagalan Kepri menggaet investor Timur Tengah hingga pengetahuan umum lain.

Sebagai orang berpendidikan, Danny memang pandai membuat lawan bicaranya (saya) merasa sangat berharga (bisa dibaca tersanjung). Misalnya dia kerap berujar;

“Oh, jadi Anda Riza yang (tulisannya muncul) di koran itu ya? Saya sangat suka membaca tulisan Anda.”

“Ah seandainya kita bertemu dari dulu. Sayang sekali, kenapa baru sekarang saya bertemu Anda.”

Atau, “Saya sangat membutuhkan pemikiran Anda!”

Atau, “Bersediakah nanti Anda saya telepon?”

Rupanya Danny masih menjaga local wishdom, inilah yang disebut keramahan komunikasi khas orang timur. Jadi tak perlu diambil hati, apalagi terhanyut.

Saya pun membalas dengan local wisdom pula, kali ini made in Jawa. “Ah, saya ini hanya pegawai rendahan saja Pak. Jauh dibanding Pak Danny.” Tentu saja. Selain pengalamannya mengelola bank, Danny hingga kini mengelola beberapa perusahaan. Inilah yang jadi modal Danny tak akan main proyek saat duduk di DPR kelak.

Saling lempar masalah lalu membahasnya, disambung saling menjajagi konsep diri membuat pertemuan yang digelar mulai pukul 14.00 itu terus berlanjut hingga pukul 16.00.

Saya pun sebenarnya sudah mohon diri, tak enak mengganggu kesibukan Danny. Namun Danny menahan. “Tinggallah dulu, kita ngobrol dulu,” ajaknya. Perpanjangan waktu ini berlangsung hingga satu jam ke depan.

Setelah waktu menginjak pukul 17.00, akhirnya, kali ke tiga, saya mohon diri. Kali ini Danny tak lagi menahan.

Hingga saya beranjak keluar pintu gerbang, bersiap menuju kendaraan, Danny juga ikut ke luar dan sekali lagi mengundang saya lain waktu berdiskusi dengannya, di rumah ini. “Nanti saya telepon.”

“Bapak serius?” tanya saya setengah berteriak, karena posisi kami sudah agak jauh. Danny hanya mengangguk.

Tidak ada komentar: