Kamis, 23 Oktober 2008

Politik Keluarga, Salahkah?

Akhir-akhir ini marak diberitakan tentang trah keluarga dalam sistem politik Indonesia. Di Pusat ada Megawati dan putrinya Puan Maharani, Gus Dur dan putrinya Yenny Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono dan Putranya Baskoro.

Di Batam, tak mau kalah. Ada Soerya Respationo dan istrinya Rekaveny, Ismeth Abdullah bersama istri Aida Ismeth dan anaknya Danny Ismeth, Ahars Sulaiman dan istrinya, ada juga Hood Brother, mulai Hoezrin Hood, Hoenizar Hood hingga Hardi Hood. Banyak lagi contoh lain yang tak bisa disebut.

Lalu apakah salah? Inilah mestinya media harus bijak menyikapi.

Trah keluarga masuk dalam sistem politik, tentu bukan hal baru. Dunia telah mencatat hal ini sudah ada jauh sebelum zaman hilafah yang paling menonjol saat khalifah Usman bin Affan memimpin. Hal ini terjadi akibat turunan dari sistem monarki. Hal ini tak semuanya jelek. Sejarah mencatat, banyak pemimpin besar dunia yang lahir dari sini.

Tentunya, kita masih ingat trah Jawaharlal Nehru. Di India, dynasti ini sangat kuat berakar. Hingga semasa dalam kandungan pun, anak turunnya seakan sudah diakui sebagai “Perdana Mentri” yang dirindukan publik di India sebagai penyelamat negara Hindi itu. Karena terbukti, dinasti mereka memang mampu dan bersih.

Dunia tentu tak dapat melupakan kiprah Indira Gandhi. Setelah bom bunuh diri pada tahun 1984 meluluh lantakkan jazadnya, rakyat India masih berharap pada putranya Rajiv Gandhi.

Rajiv pun mulus memimpin India, hingga serangan bom bunuh diri di tahun 1989 menamatkan riwayatnya, mirip sang ibu.

Meski demikian, pamor Rajiv Gandhi tak luntur. Melalui istrinya, Sonia Gandhi, trah ini terus bergerak. Terbukti, meski tanpa suami Sonia berhasil memenangkan pemilu India. Namun, karena dia warga negara Itali, Sonia tak bisa memerintah langsung. Maka ditunjuknyalah Dr. Manmohan Singh sebagai pemimpin India saat ini.

Tak hanya di India, generasi Bhutto pun sangat diagungkan di Pakistan. Meski nasibnya sangat tragis. Zulfikar Ali Bhutto digulingkan lalu digantung, namun tahta kepresidenan berhasil direbut putrinya Benazir Buhutto, yang juga mati mengenaskan akibat ditembak pada 27 Desember 2007.

Bahkan di Eropa, ada duet saudara kembar yang gantian jadi Perdana Mentri di sana. Mereka hingga kini masih memimpin, sehingga pabrik bir Guinnes, memasukkan mereka dalam buku rekornya.

Contoh lain, pemimpin Kuba, Fidel Castro yang dicap sebagai diktator oleh Amerika, juga mengikutkan saudaranya dalam memimpin. Bahkan sang adik yang menjabat jendral di angkatan darat inilah yang sebenarnya menjadi sutradara pemerintahan di Kuba, sedangkan Castro hanya produsernya saja. Kini melalui anaknya, Castro bersiap melanjutkan dinasti pemerintahannya di Kuba.

Belum cukup? Contoh yang lebih pas mungkin, masyarakat Amerika yang katanya demokrasinya sudah paling wahid, masih mengakui masuknya trah keluarga dalam sistim politiknya. Ah, siapa sih yang tak kenal Kenneddy?

Atau mungkin Anda masih ingat Bill Clinton dan istrinya Hillary Rodham Clinton? Kalau ingatan Anda masih belum pulih juga, yang ini pasti Anda tahu. Siapa Presiden Amerika saat ini (2008)? George Walker Bush, putra George Bush (sebut saja Bush senior) mantan presiden AS.

Kalau mau contoh yang lebih dekat, berkacalah pada pemimpin besar Filipina, Corazon Aquino (1986-1992). Janda senator Benigno Aquino inilah yang berjuang menumbangkan rezim Marcos dan sukses menjadi presiden di negara kepulauan itu.

Lalu, Perdana Mentri Filipina saat ini, Gloria Macapagal Arroyo juga merupakan putri mantan presiden Diosdado Macapagal, yang dulu aktif di senat.

Berkaca dari beberapa contoh ini, memang tak selamanya trah keluarga dalam sistem politik salah. Tergantung bagaimana kita bijak menyikapinya saja.

Saya kurang sepakat jika kata “nepotisme” dalam arti negatif atau tudingan antireformasi terselip di dalamnya. Ini adalah politik, bukan pemerintahan. Beda konsepnya.

Sistem politik adalah sistem kepercayaan, kuncinya di masyarakat. Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Jadi masyarakatlah nanti yang menentukan melalui mekanisme pemilu.

Kalau memang masyarakat berkenan, kenapa tidak? Namun, tentunya jangan pula semboyan ini malah dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, seperti yang terjadi di era Orba. “Kalau memang masyarakat berkenan, saya tak bisa nolak,” kata Suharto. Begitu kan?

Meski demikian, partai sebagai dapur calon pemimpin, juga harus transparan soal apa dan bagaimana kriteria si calon yang diusung. Jangan asal comot saja.

Untuk itu, pers pun harus benar-benar bijak. Perlu referensi yang lebih banyak lagi sebelum menebar tudingan. Pelajarilah masa lalu untuk mengerti masa kini.

Kalau memang mau mengupas masalah trah keluarga dalam sistim politik, masuklah pada bagian bagaimana si istri, adek, kakak sang tokoh bisa masuk, lalu bagaimana kiprahnya selama ini di masyarakat. Lihat bagaimananya, bukan siapanya.

Kalau memang trah keluarga ini memang memiliki kemampuan dan sangat disayangi masyarakat, kenapa tidak? Corazon Aquino, misalnya, sebelum menjabat presiden dia sudah lama dikenal masyarakat hingga dunia sebagai advokat demokrasi, perdamaian, pemberdayaan perempuan.

Tapi kalau memang sebelumnya kiprah keluarga di politik ini tak pernah terdengar, atau malah dibenci masyarakat, inilah yang salah.

Jadi hati-hati. Pendapat ibarat publisitas, bagai pisau bermata dua. Jika bagus, maka penyebarnya akan diagungkan, namun jika jelek dan asal-asalan, maka penyebarnya akan dicap sebaliknya.

---------------------
Aku memilih temanku karena mereka rupawan, kenalanku karena mereka berkarakter baik, musuhku karena mereka cerdas.

Tidak ada komentar: