Kamis, 23 Oktober 2008

Sakit Pertama Regalia (3)

Selanjutnya, Asteria memeriksa kondisi putri kami. Regalia pun terus mangis. Tak biasanya dia begitu. Senyumnya seolah telah direnggut dari wajah lucunya.

Saat masuk diagnosa, saya ceritakan semua. Mulai peristiwa di Bengkong, hingga periksa ke dokter Rudi. Dari sinilah, Asteria meminta agar Regalia cek darah. “Kita harus pastikan, mengingat saat ini banyak berkembang wabah muntaber dan DBD.”

Kamipun setuju, lalu keluar menuju ruang cek darah.

Tak lama kami dipanggil. Seorang suster bertampang khas Tapanuli telah menunggu. Dengan jarum steril dia merobek jari manis kanan Regalia, lalu memerahnya. Darah yang keluar itu dia tampung di sebuah wadah kecil, seukuran tutup pulpen.

Saat itulah, jeritan Regalia pacah. Saat jarinya diperas, saat itu pula separo nyawa saya seakan ikut dihentak. Saat darahnya keluar, saat itu pula air mata menetes. Tak tega saya melihatnya, sehingga saya peluk dan terus menciumnya sembari membisikkan kata peneguhan.

“Sabar Nak… Sabarlah… Ini demi kesembuhanmu. Ayah di sini, yakinlah…”
Di saat-saat haru ini, SMS saya berbunyi sebuah pesan pendek dari kawan di kantor bahwa orang Otorita Batam sudah menunggu untuk meninjau 4 lokasi. Ya, memang hari ini saya ada janji menunaikan sebuah tugas kantor, amanat dari head departemen.

Dengan air muka basah, saya membalas SMS ini. Bahwa semua sudah didelegasikan pada Hasanul, anggota tim yang cukup educated dan rakus saat bekerja.

Selanjutnya via SMS, saya menyusun program kerja, tugas-tugas apa saja yang harus dilakukan dan saya kirim. Syukurlah, semua bisa dimengerti.

Saat itulah saya baru sadar telah memiliki rekan tim yang sangat serius, merasa bodoh dan ingin selalu belajar dan bekerja. Mereka mengartikan tugas (jabatan) sebagai wewenang dan tanggung jawab, bukan kekuasaan untuk mencari keuntungan sehingga melupakan rasio.

Ibarat penari, semua rekan tim saya, paham akan irama gendang. Bahkan improvisasinya sungguh menarik. Bukannya sekumpulan pemalas yang mahir dalam mengeluh, pandai ngomong namun tak bisa berbuat dan orang-orang megalomania yang takabur.

Saat itu, sebenarnya saya ingin menelepon langsung. Namun tak berani, karena tak ingin kawan-kawan tahu apa yang saya hadapi saat ini. Takut disangka minta simpati, atau malah membuat mereka bersimpati. Tentunya ini hanya akan melemahkan mental saja.

***

Usai cek darah, kami kembali ke Asteria. “Kalau dilihat dari hasil cek darah ini, semua kekhawatiran seperti DBD dan muntaber, tak terjadi. Cuma saya lihat sel darah putihnya cukup tinggi. Anak Bapak dehidrasi!”
“Dehidrasi Dok?”
“Ya. Ini lihatlah, Lekositnya (sel darah putih) mencapai 10.700! Ini tinggi sekali. Biasa normal hanya 10.000-an saja! Sedangkan trombositnya 436 ribu mm3.”

Dehidrasi? Saya ingat, mungkin akibat pil yang diberikan dokter Rudi, saat periksa Senin lalu, kami memang menanyakan kenapa Regalia sudah tiga hari belum buang air besar. Saat itu, kami diberi pil. Dan memang, tak lama regalia bisa buang air besar, banyak sekali, sampai dia banjir keringat dan tidur pulas sesudahnya akibat kelelahan.

“Wah. Mestinya tak usah. Kan baru tiga hari. Apa sih susu-nya?”
“BMT yang biasa Dok.”
“Oh, sama dengan (susu) anak saya. Memang susu itu mengandung zat besi yang tinggi, jadi sudah biasa jika tak bisa buang air besar hingga tiga hari. Bahkan anak saya sempat tak buang air sampai lima hari. Namun saya biarkan. Kalau sudah seminggu, barulah dikasih tindakan,” ujar Asteria panjang lebar. Dari sana kami mengerti.

Selanjutnya kami diberi resep oralit merek Renalit. Jumlahnya dua botol, masing-masing 200 mili. Oralit ini harus habis dalam waktu 4 jam! Caranya, satu sendok diminumkan, setelah itu istirahat 5 menit. Begitu terus.

Kami juga diberi obat anti muntah, namanya Vometa. “Tetaskan 3 kali sehari, sebanyak 0.40 mili. Sedangkan obat penurun panas dari dokter Rudi dan antibiotik lanjutkan saja,” pesan dokter Asteria.

”Jadi tak usah dirawat iap Dok?”
”Tak usah saja. Tapi, lihat nanti sore. Kalau yang (makanan) keluar baik dari muntah atau dari buang airnya lebih banyak dari yang masuk, maka itu tanda harus segera dirawat di sini,” ujar Asteria menutup.

Pukul 10.00 Kamipun pulang. Misi pertama, bagaimana menghabiskan oralit dalam 4 jam! Selama perjalanan saya pesan pada istri, bahwa tugas ini amat berat. Maka itu, jangan sampai orang tuanya ikut sakit. Ini adalah standar pertolongan untuk anak. Sebab kalau sakit, siapa yang bisa merawatnya?

Kamipun berhenti sejenak di rumah makan Padang. Ayam gulai jadi menu pilihan untuk dimakan di rumah, karena sedari pagi perut tak terisi.

Sampai di rumah pukul 11.00, saya mulai bekerja. Sementara istri membereskan pekerjaan dapur. Langkah pertyama, meneteskan obat muntah. Yang kedua, meminumkan oralit. Saya berpikir, kalau meminumkan satu sendok ukuran 2 mili lalu istirahat 5 menit, tentu waktu 4 jam tak akan terkejar.

Untuk itu, saya memasukkan saja semua dalam botol susu. Saya hitung, tiap dua menit regalia mampu menghabiskan sekitar 30 mili. Lalu istirahat sekitar 10 menit. Dari sini, target bisa dikejar. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Jelang pukul 14.00 oralit bisa dituntaskan. Target 4 jam, bisa dikejar dalam 3 jam saja.

Hari itu, benar-benar melelahkan. Mulai siang hingga sore, saya terus menggendong Regalia, sembari melakukan aktivitas, seperti membuat susu atau meminumkan obat. Semua saya lakukan dengan satu tangan kanan. Sebab, tangan kiri harus mendekap Regalia.

Di sela-sela itulah, saya mendapat SMS dari rekan kerja, yang mengatakan bahwa rencana tak bisa dijalankan karena topik yang ditentukan tak bersedia ditemui. Akhirnya saya minta agar dia mencari ganti yang lain saja.

Hingga malam hari, Regalia masih lemas. Sayapun masih belum melepaskan gendongan. Saya hanya istirahat saat waktu salat saja, selanjutnya gendong lagi. Sebab, Regalia tak mau dilepas dan matanya belum mau terpejam.

Saat itu, satu persatu pula, obat kami minumkan. Tentunya agak susah, sebab selalu diludahkan lagi. Maklum, dia belum bisa menelan. Akhirnya kami menemukan akal, tak lagi menggunakan sendok, namun memakai alat penetes saja. Alhamdulillah bisa masuk.

Pukul 20.00 Regalia baru bisa lelap. Namun satu jam berikutnya terbangun lagi. Kali ini susu sudah diminumkan, namun hanya 40 mili saja (sesuai ukuran jumlah air dalam takaran satu sendok susu BMT). Kami belum bisa memberikan 100 mili sekaligus, sebab pencernaannya masih belum normal.

Hingga pukul 22.00 Regalia terlelap, dan pukul 23.00 terbangun. Hingga jelang pukul 01.00 Reglia bisa terlelap. Selanjutnya dia bangun lagi, kali ini sampai jam 05.00 pagi. Selama terbangun itulah, selama itupula Regalia saya gendong. Alhasil, pada Kamis siang saya baru merasakan sendi-sendi sakit semua.

Hingga Jumat, kondisi Regalia mulai normal. Senyum-senyum lagi, berbinar lagi. Ada sebuah perkembangan baru yang kami lihat, dia sudah sangat mahir menggerakkan tangannya. Alhamdulillah.

Cepat baikan ya Nak, doa ayah bunda selalu menyertai.

-----------
Terima kasih untuk:
Allah SWT, telah mengizinkan Islam jadi agama ku
dr Asteria SpA atas segala ketelatenannya.
Pak Socrates, sudah mau membaca SMS hatiku.
Teh Lilis, untuk nomor Asteria dan udah mau direpotin di pagi buta.
Said Effendi, penyanyi top era 50-an atas inspirasinya.

Tidak ada komentar: