Jumat, 31 Oktober 2008

Jalaluddin Rakhmat



Setelah berdasawarsa menunggu kelahiran kembali sosok (baca pemikiran) Buya Hamka, kini akhirnya saya temukan dalam diri Jalaluddin Rakhmat.

Awal kecintaan saya akan pemikiran Kang Jalal, demikian dia disapa, sejak awal semester 3, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, awal 94-an. Kala itu, buku Psikologi Komunikasi Kang Jalal menjadi acuan literatur kami.

Saat menelusuri bab pertama, hati saya sudah mulai terpikat. Dengan indah, Kang Jalal mempu mengurai teori-teori dasar yang rumit dengan sangat lugas dan enak dicerna hati dan pikiran.

Membacanya tak kaku dan menggurui, sehingga membaca konsep-konsep ilmu yang berat tersebut ibarat bertamasya ke dalam alam imajinasi bak buku pendongeng dunia kelas wahid, Hans Christian Anderson.

Hal ini tampak –sa;ah satunya- saat Kang Jalal mengurai konsep jiwa gnoti seaton. Dia mengisahkan, saat itu di Yunani ada orang yang ingin mencapai kebahagiaan hidup lalu datang ke tokoh kepercayaan di kuil. Saat itulah dia dianjurkan agar ber- gnoti seaton. Artinya, jadilah diri sendiri.

Konsep inilah juga yang akhirnya mampu mengubah cara pandang saya dalam menjalani hudup.

Memang, banyak orang yang bisa menulis, namun jarang yang bisa bertutur. Dalam perkembangannya, bertutur dalam tulisan inilah yang menjadi cikal-bakal jurnalisme sastrawi.

Sebagaimana para penulis lain, Kang Jalal tentu saja juga banyak mereferensi beberapa buku ilmu pengetahuan dari ilmuan barat masa kini hingga sebelum masa kebangkitan. Tak ketinggalan juga para cenderkiawan muslim, semacam Al Ghazali.

Namun, semua referensi buku itu tak dia kutip mentah-mentah (baca jiplak) sebagaimana yang kita temukan dalam buku-buku karya pengarang amatir. Kang Jalal -layaknya Dahlan Iskan- mereferensi buku sebagai landasan kerangka perpikirnya untuk menemukan teori-teori baru.

Bukan hanya copy paste pendapat para ahli itu yang rata-rata hidup di zaman yang sudah lewat. Penulis-penulis semacam inilah yang disindir pengusaha nyentrik Bob Sadino saat seminar beberapa waktu lalu di Batam, agar diacuhkan saja. Menurutnya sudah tak relevan dengan zaman.

Kadang orang bangga karena dalam tulisannya banyak mengutip teori atau pendapat para ahli. Retorika sufisme berpendapat, banyak mengutip pendapat para pakar, memang sepintas dapat menguatkan pandangan dan menggambarkan bahwa si penulis memiliki pengetahuan luas, namun juga bisa membuat si penulis hanya jadi penjiplak ulung, tak kreatif, teoritis dan kaku.

Buku-buku Kang Jalal bukanlah seperti itu. Kang Jalal tak mengajak pembacanya menjadi introvert dan susah mendengar pendapat orang lain. Kang Jalal justru mengajak pembacanya agar tak hanya “percaya” dengan apa yang ditulisnya, juga harus melakukan kajian ilmiah di alam nyata. Karena, menurutnya, masyarakat itu bergerak.

Di balik semua uraian ini, Kang Jalal selalu memadukan unsur agama dalam hal ini Islam, sebagai pelengkap dan sandaran kajiannya. Inilah kenapa, saya seolah menemukan kembali Buya Hamka yang telah lama berpulang itu.

Menurut saya, Kang Jalal dan Buya adalah Al Ghazali-nya Indonesia. Mereka ahli dalam bidang kemasyarakatan, komunikasi yang juga ahli agama.

Tidak ada komentar: