Minggu, 12 Oktober 2008

Homo Simbollicum

What is the name. Apalah arti sebuah nama

Demikian diucap sastrawan Inggris Shakespear dalam buku roman Romi dan Yuli. Menurut Anda bagaimana?

Kalau menurut saya, nama tentu sangat berarti. Sebuah teori dasar manusia menyebut, manusia adalah, homo symbollicum. Artinya, mahluk yang bersimbol, gemar membuat dan memberi simbol (bisa juga disebut logo atau merek).

Tak percaya, berapa banyak simbol yang Anda kenal saat ini? Bahkan nama atau jabatan Anda sendiri sebenarnya adalah sebuah simbol, sebagai pembeda atau penanda karakter, status atau peran sosialisas (rule) antara manusia/mahluk/benda yang satu dengan manusia/mahluk/benda lainnya.

Misalnya begini, nama saya Riza. “Riza” di sini adalah merek yang melekat dalam diri saya. Ciri-cirinya, suka warna biru, kulit coklat dan lain-lain. Demikian pula dengan nama Anda dan lainnya.

Apa jadinya jika Anda dan tatanan peran tak memiliki nama, tentu akan membingungkan dan sulit membedakan dengan orang lain.

Selain itu, mengulang di atas, manusia suka memberi simbol terhadap sesama dan mahluk lainnya. Misal si pendek, si kurus. Atau, jika berkokok dan kakinya bertanduk itu namanya ayam, jika rodanya dua dan bermesin itu namanya sepeda motor dan lain-lain.

Setiap tempat, tentu tak sama dalam memberikan dan menyebut sebuah simbol. Ini tentu tergantung dari bahasa masing-masing.

Selain itu, di setiap tempat memiliki pengakuan dan penghormatan berbeda akan sebuah simbol. Misal, di Amerika orang berjubah putih dengan topi kerucut identik dengan kelompok rasial bernama Ku Klux Klan.

Namanya memang lucu, namun sangat sadis. Kelompok inilah yang menangkap lalu membakar hidup-hidup orang-orang kulit hitam. Tak heran, Ku Klux Klan merupakan kelompok paling dikutuk di Amerika.

Namun di Spanyol, orang berjubah putih dengan topi kerucut ini sangat dihormati. Karena mereka merupakan pimpinan tertinggi dalam sistem keperecayaannya. Orang ini diagungkan sebagai orang suci. Jadi sangat berbeda.

Di Batam sendiri, jarang ditemukan angka 4 tak pernah di pasang pada nomor rumah atau kamar dan lainnya. Karena menurut kepercayaan orang Tionghoa di sini, 4 (tse) adalah simbol kematian. Maka itu, di Batam angka 4 banyak di ganti 3a.

Namun di Jawa ini tentu tak berlaku, di sana angka 13-lah yang lebih disimbolkan angka sial!

Contoh lain, dalam mitologi Eropa (Yunani) ular selalu identik dengan hal yang jahat. Dia adalah rambut Dewi Hera, ibu tiri Hercules yang selalu menurunkan bencana di Bumi dan berusaha membunuh manusia kawat itu. Ular jugalah yang menyebabkan Adam dan Eva terusur dari Surga.

Namun di Timur Jauh, ular malah dianggap sebagai mahluk Dewa. Bahkan menjadi mahluk penyembuh bagi manusia.

Ada juga simbol yang sama, namun diakui berbeda. Misal begini, bila Anda baru keluar sidang lalu mengacungkan dua jari, orang akan berpikir bahwa Anda telah memenangkan persidangan. Karena dua jari berarti “menang”.

Namun, mengacungkan dua jari bisa disimbolkan perdamaian, ketika ini dipakai saat terjadi kerusuhan.

Seiring perkembangan juga, masyarakat sangat mengagungkan si pemegang simbol itu sendiri, namun ada yang mengacuhkannya.

Contoh dekat, dulu di Kerajaan Riau Lingga di Penyengat, rakyat akan mengakui kekuasaan rajanya jika yang bersangkutan memegang regalia. Sebuah simbol kerajaan yang bentuknya dari daun sirih.

Namun jika regalia tak lagi dipegang, maka rakyat tak lagi mengakuinya. Ini terjadi pada nasib raja riau lingga bentukan belanda. Meski sudah ditabalkan (lantik) namun karena regalia tak dia pegang, maka rakyat tak mengakui. Akhirnya si raja lengser dengan sendirinya.

Sedangkan contoh yang mengacuhkan pemegang simbol, kita bisa lihat pada warga Batam sendiri. Di sini, masyarakatnya sangat acuh akan orang-orang yang memegang simbol-simbol selebriti, keartisan maupun jabatan.

Di Batam, mungkin ada juga masyarakat lain, melihat kapasitas seseorang bukan dari simbol yang diasandang, melainkan keuntungan yang dia dapat. Istilahnya, yang penting khasiatnya, bukan mereknya.

Contoh. Saya sering melihat, pementasan orang-orang yang memiliki nama besar tak begitu dielukan.

Misal, pementasan artis sekaliber Iwan Fals, Bimbo, hingga anak band top ibu kota tak pernah terlalu dielukan. Ya biasa saja. Setelah nonton konser pulang. Bahkan ada kalanya sebelum acara usai sudah pulang.

Yang paling baru, ada pementasan tari skala nasional. Tapi sepi-sepi saja. Padahal panitia sudah menjual nama besar Danny Malik sebagai sutradaranya.

Mereka tak perduli kalau yang sedang mereka saksikan adalah orang yang memiliki simbol keartisan cukup bagus. Sehingga sering keluar ucapan, “Wah kalau di Jakarta acara ini pasti sudah ramai pengunjung!”

Bahkan dulu artis Iga Mawarni mengeluh, karena belum selesai nyanyi sudah ditinggal penonton. “Aduh, selama saya berkarir baru sekrang dicuekin,” katanya.

Hal seperti ini juga terjadi saat kunjungan Presiden maupun tamu penting lain. Jika di kota lain identik dengan sambutan yang ramai hingga perlu pengerahan keamanan ekstra, di Batam kedatangan presiden kurang begitu diagungkan.

Di jalan-jalan jarang orang yang berniat melihat presidennya secara langsung. Meski ada, itu pun kebetulan saja melintas di jalan itu untuk menunggu angkutan.


Jadi, masih berpikir tentang arti sebuah nama?

Tidak ada komentar: