Minggu, 12 Oktober 2008

Naik Motor = Sabar

Orang bilang sepeda motor itu bisa menambah percaya diri dan gagah. Namun menurut saya, sepeda motor itu malah bisa mengajar orang untuk sabar dan paham akan takdir.

Pendapat ini saya dapat berdasar peristiwa yang saya alami pada Minggu (12/10) lalu. Saat itu, saya hendak bertemu Syafrudin Angar, yang diusung PPP sebagai caleg DPR RI dari derah pemilihan Kepri.

Keseharian Syafrudin adalah Ketua Umum Angkatan Pemuda Kakbah, yang juga staf ahli DPRRI bidang keuangan dan Bapenas.

Janji bertemu pukul 14.00 di rumah Ketua PPP Batam Irwansyah di Tiban I. Makanya, start dari rumah di Batam Center, sekitar pukul 13.30. Saat itu saya mengajak Jamil Qasim, rekan saya sekantor. “Siapa tahu kita dapat ilmu,” ajak saya.

Motor melaju membelah jalan raya. Tentu saja panas. Matahari saat itu tak main-main teriknya. Kondisi gerah kian mendera ketika berhenti di lampu merah, maklumlah sudah tak ada angin masih ditambah hawa dari knalpot kendaraan lain. Ya sudah, sabar saja.

15 menit di atas putaran roda, baru saja rasa panas dikeluhkan, tiba-tiba, “Berrrrr….” Hujan deras mengguyur dengan ukuran curah besar. Spontan, Jamil langsung meningkatkan laju kendaraan, menuju halte bus di Tiban I. “Padahal, tinggal 100 meter lagi rumah Irwansyah ya,” kata sarjana Agama ini.

“Ya sudahlah sabar. Bisa jadi ini jalan Allah menyelamatkan kita Mil,” kataku, sok ustad.

Tak terasa 10 menit sudah kami berteduh. Kali ini kedinginan. Maklumlah, hujan telah membuat kami basah dalam sekejap. Hingga akhirnya, hujan lebat berganti gerimis. “Mil, inilah saatnya,” ingat saya. “Kita tak bisa berdiam terus di sini. Ayo nekad aja,” lanjut saya.

Jamil mengangguk. Namun, bayang optimis tiba-tiba hilang dari wajahnya yang berkumis itu, mana kala melihat motornya yang diparkir dekat parit sudah terkepung motor yang ikut berteduh.

Hujan deras telah membuat pengendara motor yang berteduh di halte inibak serangga yang terjerat jaring laba-laba. Kian lama kian menumpuk, sedangkan motornya diparkir begitu saja tak beraturan.
“Waduh. Ya terpaksa kita singkirkan. Ayo turun,” ajak saya.

Tapi baru saja menginjakkan kaki ke jalan, “Crot…” air setinggi mata kaki sudah menyambut. Rupanya banjir kecil terjadi. Kian terendamlah sandal yang saya gunakan. “Ampuuuuun…” batinku.

Kepalang basah, lalu saya coba mengeluarkan motor Jamil. Satu persatu motor yang menghalang saya pindah. Untunglah tak ada yang dikunci stir, sehingga lebih mudah kerjanya.

Baru dua motor yang berhasil saya pindah, tiba-tiba hujan mulai bertambah. “Ayo Mil cepat lah. Ini mau deras lagi,” ajak saya. Jamil pun menurut. Wajahnya tampak tegang karena buru-buru mengeluarkan motor.

Namun, baru saja bannya menyentuh tubir jalan, tiba-tiba “Triiiiittt…” klakson taksi menyalak. Rupanya saking keburu-buru, Jamil tak melihat taksi yang meluncur dari arah belakang. Ah hampir saja. Sementara hujan kian deras.

“Ayo ayo ayo…” saya memberi aba-aba supaya Jamil ngebut. Namun, baru 20 meter melaju, “Byaaarrrr…” hujan yang sama derasnya dengan tadi datang. Kamipun bingung, sedangkan tempat berteduh di kiri kanan jalan sudah tak ada lagi.

“Terus aja Mil, kepalang basah. Tuh rumahnya sudah kelihatan!” teriak saya sembari menunjuk sebuah rumah bertingkat.
“Yang mana?!”
“Yang itu tuh, yang banyak sepanduknya! Lurus ajalah. Cepet cepet cepet….!”

Bruuuummm…. Jamil kian mendalamkan tarikan gasnya. Akhirnya, sampai juga di rumah Irwansyah. Jam tangan menunjukkan pukul 14.15.
“Ah, kalau memang takdir Allah kita harus basah, ya basah aja ya. Padahal tadi kita sudah berteduh,” ujar jamil.
“Ya usah Mil, sabar,” anjurku menahan dingin. Baju dan celana sudah basah kuyup.

———————
Apabila kamu bersyukur, maka akan Aku tambah nikmatku. Namun jika kamu ingkar, sesungguhnya azabku akan sangat pedih.

Tidak ada komentar: