Sabtu, 25 Oktober 2008

Sakit Pertama Regalia (1)

Badan Regalia tiba-tiba hangat. Kadang datang, kadang pergi. Sang Bunda mulai gelisah. Saya juga demikian, hati deg-degan. Maklum, ini baru petama kali terjadi. Namun, saya berupaya agar ekspresi ini tak terlihat, supaya jadi pengimbang.

Hal ini bermula ketika Minggu 19 Oktober lalu, Regalia kami bawa ke acara Aqiqah anak kerabat di Bengkong Laut. Sembari menikmati hidangan, Regalia kami baringkan di ruang tamu tuan rumah.

Ternyata, tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat pada sahibul hajat, silih berganti pula mencium dan kadang mencubit pipi Regalia yang tengah terlelap. Sampai-sampai tuan rumah berseru, “Anak ini yang aqeqah,” ujarnya sembari menunjuk anak yang dia gendong. Dari pupil matanya, saya melihat rasa kurang senang.

Namun para tamu seolah tek memeduliknnya. Mereka hanya berkata, “O….” lalu kembali mengerubung putri kami.

Karena tak enak pada tuan rumah, saya berbisik pada istri supaya menggendong Regalia, lalu kami pamit pulang.

Sesampainya di rumah, hampir maghrib, Regalia muntah. “Yah, badannya panas,” kata istri saya.

Sejenak saya diam. Saya cek keningnya, memang agak hangat. Malam itu akhirnya berlalu, hingga Senin (20/10) pagi menjelang, panas di kening Regalia hilang.

“Tit tit tit tit…” Ponsel berbunyi, sebuah SMS datang, undangan rapat dengan pimpinan umum pukul 10.00. Katika akan berangkat, istri kembali berkata,

“Yah, panas lagi.”
“Lho, tadi sudah dingin, kok panas lagi?”
“Entahlah. Coba aja lihat,” pintanya. Saya cek ternyata benar.
“Aduh, mana saya mau rapat lagi.”
“Ya berangkat aja. Tapi nanti kalau udah selesai langsung pulang saja.”

Saya menyanggupinya. Berat juga mau melangkahkan kaki. Maklumlah, di rumah tak ada orang. Apalagi, Regalia mulai menangis saat tahu saya tak lagi ada di sisinya. Sementara, waktu sudah menunjukkan pukul 09.45.

Di tengah kesempitan itu, saya menyempatkan diri memberi pengertian. “Ayah ke kantor dulu ya… Nanti langsung pulang,” pamitku. Sebuah kecupan hangat di kening, saya hadiahkan sebagai penenang jiwanya.

Syukurlah, tak terlambat rapat. Sekadar diketahui, dalam kecepatan sedang jarak kantor dan rumah bisa saya tempuh dalam waktu 10 menit. Namun jika mendesak, bisa saya ringkas hanya 5 menit saja.

Sebelum masuk ruang rapat, saya masih menyempatkan diri menemui rekan sekantor, Ikbal di mejanya, lalu membincangkan masalah ini. Anak Ikbal sudah masuk usia balita, jadi saya rasa dia memiliki pengalaman yang lebih dalam urusan ini.

“Anak saya demam, Bal. Apa ada pengaruhnya dengan imunisasi HIB (miningitis) ya?”
“Biasanya memang gitu Mas. Imunisasi itu bawaannya panas. Biasanya sampai dua hari.”
“Tapi ini imunisasinya Senin lalu Bal. Sudah seminggu.”
“Wah, saya kurang tahu kalau begitu,” pungkas Ikbal.

Akhirnya saya manelepon tempat Praktik dr Rudi Ruskawan di Vetka Farma. “Saya mau daftar anak saya untuk cek nanti malam. Badannya panas,” ujarku pada petugas di sana.

Rapat pun dimulai. Hingga pukul 11.45, SMS ponselku berbunyi. Istri mengirim kabar, “Udah selesai rapaynya? Saya lihat tadi (Regalia) agak kejang. Saya takut ada apa-apa, ” katanya. Saya jawab, “Belum. Nanti pukul 12.00.”

Meski terkesan tenang, namun degup jantung kian kencang. Selama ini kami memang punya komitmen agar tak membawa urusan kantor ke rumah, dan urusan rumah ke kantor. Jadi, jika sudah istri berani SMS saol rumah saat saya di kantor, berarti memang sudah genting.

Apalagi mendengar kata “kejang” tadi. Meski pikiran tetap menyimak uraian sang pimpinan, namun sebenarnya hati ini berharap rapat ini berakhir. Kue brownies yang teronggok di meja bundar pun pun tak lagi menggugah selera saya.

Kekesalan melonjak, saat pimpinan akan menutup rapat, masih ada saja yang melontarkan pertanyaan tak nyambung. Sehingga pimpinan lagi dan lagi mengulang penjelasannya tadi, apa itu bussines plan, apa itu action plan, apa itu fix cost, apa itu variable cost.

Sampai-sampai saat itu saya ingin berdiri lalu berkata pada si penanya, “Hei, rasional dikit dong tanyanya? Bos mengangkat kamu di sini bukan untuk melawak!” tapi itu tak aku lakukan.

Pukul 12.00. Rapat ditutup. Tergopoh saya menuju tempat parkir. Lalu tancap gas pulang.

“Mana… mana Regalia?” teriakku di pintu rumah.
“Dia tidur. Tadi habis mimik,” ujar istri.
“Katanya tadi kejang?”
“Ya sih, agak kejang gitu. Aku takut ada apa-apa.”
“Ada apa-apa gimana?”
“Soalnya di Bengkong kemarin, aku dengar anak Kak Wati (kenalannya) kena DBD!”
“Oh gitu? Begini, kita boleh saja khawatir, namun jangan terlalu dihubung-hubungkan,” balas saya.
“Habis, tadi pagi saya baca di Metropolis Batam Pos, katanya akibat wabah DBD PMI sampai kekurangan trombosit.”
“Ah, itu pandai-pandai si Dewi (wartawati) saja. Sudahlah,” ujarku, padahal dalam hati khawatirnya bukan main.

“Tadi aku udah telepon tempat praktik dokter Rudi. Kita dapat antrean nomor 11.”
“Oh ya. Kalau gitu, kita berangkat habis maghrib saja. Dokter Rudi kan praktik jam tujuh (19.00), jadi biar tak lama antre-nya. Biasanya nomor urut tak berlaku jika kita cepetan datang,” saran istriku menebar kiat. Sayapun setuju.

Hingga sore pukul 16.00, saya kembali ke kantor. Tetap beraktivitas seperti biasa. Tebar senyum, meski hati gundahnya minta ampun. Pukul 17.00 pulang lagi. Saya lihat kening Regalia sudah dibalur minyak dengan bawang merah. Resep turun-temurun orang tua kami untuk meredakan panas.

Hingga pukul 18.45, kami tiba di tenpat praktik dokter Rudi. Lima menit berselang, kami dipanggil.

“Kenapa Pak?”
“Ini Dok, badannya panas. Apa karena imunisasi HIB yang seminggu lalu itu ya?”
“Ha ha ha, anak panas ini karena bakteri. Tak ada kaitannya dengan (imunisasi) HIB,” ujarnya. Setelah memeriksa kedua telinga Regalia dengan senter khusus, sang dokter memberi kami resep.

“Ini ada obat, ada dua botol. Botol ke satu harus habis. Botol ke dua ini hanya (diminum) untuk panas. Kalau tak panas, distop. Ini harus diminum tiga kali sehari. Ngerti?”
“Baiklah Dok,” jawab saya.

Selanjutnya, bergegas kami menebus resep ini ke apotek yang berada di lantai dasar. “Ini pak, yang satu antibiotik harus diminum tiga kali sehari, 1 sendok sampai habis. Yang satu ditetesin saat panas saja. Ukurannya 0,7 mili. Semuanya Rp95 ribu!” jelas apoteker.

Sampai di rumah, hanya antibiotik saja yang kami minumkan. Maklum, badannya sudah dingin lagi. Tahu sendirilah, anak kecil minum obat. Susah. Masuk sedikit dimuntahkan lagi. Begitu terus. Harus sabar.

“Kalau menilik dari keterangan dokter, ini pasti akibat terlalu banyak dikerubung orang di acara aqiqah kemarin. Entah dari mana-mana orang itu. Salah satunya bisa saja membawa kuman!” rutukku. Istri hanya diam saja.

“Lain kali harus dijaga. Jangan terlalu dibiarkan Regalia terlalu banyak bertukar nafas dengan orang, apalagi yang kita tak tahu riwayat penyakitnya. Bisa jadi golongan darahnya ada yang nyambung, sehingga mudah ditularkan!” lanjutku, mirip dosen ngasih kuliah saja.

Hingga pukul 03.00 Regalia terbangun. Istripun sudah sigap dengan sebotol susu. Usai ngedot, Regalia ogah tidur. Dia merengek minta saya gendong. Hingga satu jam saya gendong, namun tak lelap juga. Badannya kembali panas.

Lalu saya memutuskan memberi obat panas. Gotong-royong pun dimulai. Badan Regalia saya terlentangkan di pangkuan, sementara istri meneteskan obat warna merah, bermerek Sanmol itu.

Setetes dua, berhasil masuk. Namun diludahkan kembali. Lalu kami seka lagi, masuk lagi. Rupanya Regalia tak suka. Segala macam rayuan pengalih perhatian, mulai siulah hingga celetuikan-celetukan tak berhasil menggoyahkannya.

Hingga akhirnya, “Oaaak…..” Regalia muntah. Susu yang sudah diminum satu jam lalu bersama obat itu keluar semua. Habislah baju saya.

Kesibukan kecil mulai di pagi buta itu. Ganti baju dan mengelap tubuh Regalia dengan air hangat dilakukan. Akhirnya, setelah semua usai, kembali saya gendong-gendong. Hingga pukul 05.00 Regalia mau terlelap.

Saya tempelkan pipi ke keningnya, ternyata masih panas. Rasanya saya ingin menyerap panas anakku. Pindahkan saja ke saya. Tak tega rasanya. Saya ingin Regalia ceria lagi, ngomong “Accha accha…. Atca tca tca… wa wa wa…”

Lalu saya memandang wajah anakku. Tenang dan damai. Pelukanku kian erat. Regalia makin lelap.

Anakku sayang, regalia Khairunnisa
Tidurlah intan, tidurlah nyawa
Palita hati penghibur duka
Pujaan ayah beserta bunda

Bila kau dewasa janganlah lupa
Menuntut ilmu bekal hari tua
Agar menjadi orang yang berguna
Setia kepada ayah dan bunda

Lenalah sudah, pejamkan mata
Di sampingmu ayah menyanyikan
Lagu untukmu
Sebagai ganti kasih sayangku

Tidak ada komentar: