Kamis, 23 Oktober 2008

Hari Terakhir Ketua OB

Ada awal, pasti ada akhir. Adalah sebuah kesempatan hebat pula jika kita bisa menyaksikan awal dan akhirnya sesuatu yang besar pula. Dalam hal ini Otorita Batam.

Saya pribadi, tentu tak bisa menyaksikan lahirnya lembaga yang telah membangun Batam dari pulau sekala kelurahan hingga kini menjadi kawasan yang megah setara dengan kota provinsi-provinsi top yang lebih dulu hadir di Indonesia. Sebab saat itu, tepatnya tahun 1971, saya belum lahir.

Namun, saya diberi kesempatan oleh Allah menyaksikan akhir Otorita Batam yang akan berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) Batam tepat di ulang tahunnya ke 37. Usia ini berdasarkan Keppres No 74 tahun 1971 tertanggal 26 Oktober 1971, yang oleh Presiden RI menetapkan sebagian Pulau Batam sebagai Kawasan Pengembangan Industri Pulau Batam.

Sekadar diketahui, OB dibentuk pemerintah pusat untuk mengambangkan pulau Batam sebagai kawasan industri. Saat itu, Batam yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura masih berstatus kawasan bonded zone dan free trade zone.

Saat pertama dikembangakan, pusat kota Batam berada di Sekupang, bukan Batam Center seperti saat ini. Hal tersebut ditandai dengan dibangunnya kantor kepala Satuan pelaksana (Kasatlak) OB, perumahan karyawan, Pelabuhan Feri dan infratruktur lainnya, berupa jalan pemukiman penduduk di kawasan itu. Jadi, jika ingin melihat pembangunan Batam yang terukur dan rapi, lihatlah di Sekupang.

Selain itu, OB membangun kawasan bisnis di Jodoh dan Nagoya. Di sana juga dilengkapi pelabuhan feri internasional di Batuampar. Dalam perkembangannya, Jodoh Nagoya berkembang pesat.

Pemukiman penduduk mulai padat, hingga pada tahun 90-an kebakaran besar melanda Jodoh, penduduk yang kehilangan tempat tinggal diberi tanah di kawasan Bengkong hingga Sungaipanas. Inilah yang menandai era konsentrasi perkampungan penduduk di Batam.

Hingga era Habibie, sebutan kasatlak sudah berganti dengan ''ketua'' saja, jabatannya setara mentri. Kantor OB pun dibangun di Batam Center, setinggi 9 lantai.

Di era Habibie inilah, Batam mengalami pembangunan besar-besaran. Mulai industri hingga ikon wisata, semacam Jembatan Batam Rempang Galang (Barelang). Hal ini berlanjut di era Ismeth Abdullah yang kini menjabat Gubernur Kepri.

Di akhir masa jabatan Ismeth, yang akhirnya digantikan Mustofa Widjaja, kejayaan OB mulai tergusur, setelah Pemerintah Kota Batam mulai defenitif dan memiliki wali kota yang representatif. Dengan demikian, keistimewaan Batam sebagai bonded zone dan free trade zone, mulai dicabut.

Apalagi seiring berhembusnya otonomi daerah. Hingga pada tahun 2008 ini, sesuai amanat undang-undang, OB harus dibubarkan dan berganti dengan sebutan BPK. Berkaca dari inilah saya ingin menemui Mustofa Widjaja, mantan Deputi Wasdal OB ini.

***

Selasa, sekitar pukul 13.00 ponsel saya ada SMS masuk dari Jamil, rekan di kantor. Saya hitung tiga kali SMS itu dikirim, semua bunyinya sama, “Nanti ketemu di Otorita (Batam) jam 2 (14.00).” Tampaknya ini SMS penting, sampai dikirim tiga kali segala.

Pukul 13.30, saya dan Jamil sudah tiba di Otorita Batam. Saya pun mengenang. Pada tahun 2000 lalu gedung ini pernah diserang demonstran yang menolak berlakunya PPn dan PPn BM di Batam.

Mereka memecahkan kaca dekat pos Direktorat Pengamanan OB, selain itu salah seorang pendemo bernama Kholik berhasil naik ke dekat meja penerima tamu dengan gas gun ditangan, mengancam seorang anggota Ditpam hingga pucat pasi. Seru sekali masa itu.

Kholik pun sempat ditahan oleh Kapolresta barelang saat itu, Nicolaus Eko. Namun dibebaskan oleh pengacara Soerya Respationo. Kini Kholik duduk sebagai anggota DPRD Batam dan Soerya sebagai Ketua DPRD Batam.

Selain kenangan itu, ada kesan yang sangat berbeda saat saya menginjakkan kaki di gedung ini. Semua serba sepi, tak ada lagi lalu lalang orang bule berdasi, atau antrean pengusaha lokal di depan-depan pintu para deputi hingga sore hari, seperti yang saya saksikan pada tahun 2000 lalu.

Naik ke lantai 8, tempat Ketua OB berkantor, jantung ini tak lagi berdegup. Ya, apalagi yang mau didegup-kan? Ikon-ikon kebesaran itu sudah tercabut. Paling banter ketemu cleaning service atau pegawai rendahan saja yang kini juga bisa leluasa masuk lift.

Hingga di lantai 8, saya dan Jamil menunggu di ruang tamu ketua OB. Bentuknya masih sama dengan dulu, saat saya ingin bertemu Ismeth Abdullah tahun 2002 lalu. Ruangnya berukuran 3 x 3 meter berskat dinding tipis. Delapan buah kursi berukir khas Jepara mengelilingi sebuah meja lebar siap menyambut tamu.

Di sisi dindingnya terpasang profil misi dan misi OB, hingga beberapa macam pembangunan yang telah dilakukan. Bedanya, kalau dulu gambarnya masih jelas, kini mulai pudar kemerahan akibat sengatan waktu dan sinar matahari yang mampu menembus di pagi hari.

Saya pun melongok ke jendela kaca lantai 8 tersebut. Dari sini, pemandangan yang tersaji dari atas sudah berbeda dengan 5 tahun lalu. Dulu saya hanya bisa melihat Pelabuhan Feri Batam Center, Dataran Engku Putri, gedung Pemko Batam dan Bukit Clara yang masih hijau. Selebuhnya masih kosong.

Kini pemandangan itu bertambah, dengan berdirinya gedung DPRD, Gedung Sumatera Ekspo, Mega Mall dan selebihnya pemukiman penduduk dan Bukit Clara yang tinggal separuh.

“Mau ketemu Pak Mustafa ya?”. Sapa lelaki berbadan tegap, membuyarkan lamunan.
“Ya!”
“Apa sudah janji?”
“Sudah, katanya mau ketemu jam 2 ini!” jawab Jamil.

Selanjutnya lelaki itu berlalu. Tak lama kemudian datang lagi. “Silakan ikut saya,” ajaknya, membimbing kami ke sebuah ruang. Dalam ruang itu ada pintu berukir. “Ayo masuk sini,” pintanya. Kamipun ikut.

Di sini ada sebuah meja bundar kayu berukir khas Jepara yang dikeliligi kursi mermotif sama.

“Ini ruang rapat petinggi OB ya Mil?” tanyaku pada Jamil yang sejak tahun 2002 lalu memang ngepos di OB.
“Ya. Bisa juga ini dijadikan tempat Ketua OB bertemu orang petingginya,” jawab Jamil.
“Dulu saat ke bertemu Pak Ismeth, bersama Bang Edy (pimpinan saat itu) saya tak diterima di ruang ini Mil. Tapi di ruang utama Ismeth. Agak lebar bentuknya.”
“Ya, kan saat itu bersama Bang Edy (baca pimpinan), tentunya beda jika kita yang datang sendiri, he he he,” seloroh Jamil.

Selanjutnya, staf Humas OB Joko Wiwoho ikut nimbrung membawa buku catatan. Ini sudah standar protokoler. Beda dengan dulu, yang menyambut pertama langsung Kepala Humas dan Pemasaran OB Ahmad Dahlan yang kini menjadi Wali Kota Batam.

“Hallooooo… apakabar…” sapa Dahlan dengan lentur, disusul kemudian Ismeth muncul dengan peci dan senyum khasnya. Kini, semua formasi ini tak saya lihat lagi.

Setelah lama berbincang dengan Joko, Mustofa pun datang dan langsung duduk di kursi ''point of view'', dekat kursi yang saya duduki di sisi kiri meja.

“Apa lagi yang ingin kalian ketahui, semua sudah saya sampaikan saat pertemuan lalu. Jangan saya terus lah.”

“Pak, diminta atau tidak, saya tetap akan bertemu Bapak. Ini sebagai apresiasi kami kepada lembaga ini. Apalagi ini akhir usia OB sebelum berubah BPK! Bagaimanapun juga Bapak Ketua OB kan?” sergah saya.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Mustofa. Selanjutnya dia memaparkan hal-hal yang umum saja. Tentang OB dan peralihan ke BPK. “Tak ada yang berubah, cuma ganti nama saja,” ujarnya.

Sepanjang pertemuan ini staf protokoler kerap masuk ruangan memberikan selembar kertas warna kuning pada Mustafa. ''Ya sudah, ini saya masih ada tamu,'' ujar Mustofa usai menerima kertas tersebut.

Hingga 15 menit di awal, saya merasa pertemuan ini kurang bumbu. Ada sedikit sikap under-estimate yang secara tak disadari diperlihatkan Mustofa. Untuk itu saya mencari cara bagaimana “ngerjain” arek Suroboyo, kelahiran Kediri 15 Desember 1951 ini. Paling tidak dia tahu who they deal with.

Modal awal sudah saya peroleh, yakni sikap under-estimate-nya tadi. Dengan demikian, saya bisa menyerang dari sisi eksistensinya. Apalagi saat itu disaksikan staf dan kawan saya, Jamil. Tentunya dia tak mau jika disangka bahwa saya, yang pegawai rendahan ini, lebih pinter darinya.

Mulailah saya bekerja. Sejak tadi saya dengar Mustofa selalu mengemukakan soal konsep-konsepnya, misal paradigma baru atau menuju era elektronik. Hal inilah yang saya pakai untuk menguras isi otaknya. “Bapak sedari tadi bilang tentang konsep paradigma baru. Bagaimana caranya?”

Berhasil! Mustofa terpancing. Hal ini memang kerap saya lakukan untuk menakar kepala seseorang. Sering saya jumpai orang-orang yang hafal apa teori ini dan itu, namun saat ditanya “bagaimana caranya” mereka diam seribu bahasa.

Namun hal ini tak saya temui pada Mustofa. Dia memang seorang yang berotak encer, tak hanya bisa teori, juga cara melaksanakan.

Selanjutnya, saya pahami bahwa Mustofa ini berasal dari Kota Santri, Surabaya, Jawa Timur. Dari sinilah pendekatan itu saya lakukan. Saat dia menjawab soal perubahan yang katanya bersifat abadi, saya menentang pendapatnya dengan membelokkan ke konsep Alquran.

“Hanya Alquran yang tak berubah Pak!” potong saya. Mustofa tersengat. Ego dan eksistensinya terlecut.

“Ah kata siapa itu? Alquran juga berubah! Tentu bukan dari segi isi, melainkan dari cara penyampaiannya. Dulu Alquran dihafal, lalu ditulis dalam lembar suhuf, terus dicetak hingga kini dihafal lagi. Selain itu, selain terjemahan, kini juga ada tafsir. banyak sekali tafsir ini, ada juga tafsir karangan Quraisy Shihab. Apa itu?”

“Almanar?” kata Jamil.
“Bukan. Almisbah!” jawabnya.
“Kalau saya tak suka Almisbah Pak. Saya lebih suka Al Azhar, karya Buya Hamka,” jawabku.

“Ya, kalau saya ini semua suka. Saat Ramadan saya sering mendengarkan acara Quraish Shihab. Rasanya sejuk. Di sana dijelaskan bahwa membunuh dengan alasan jihad itu tetap salah.”

“Pak, selama masih ada satu Tuhan, akan banyak manusia membunuh atas namaNya!” sela saya.

Mustofa terdiam, lalu melanjutkan. ”Ya, tapi juga saya senang membaca aliran yang lain, semacam Hizbut Tahrir. Bahkan ceramah pimpinan FPI Habieb Rizieq pun saya dengarkan.”

Mustofa lalu berkisah soal isi ceramah Rizieq, bahwa jika Tuhan ingin menurunkan musibah selalu tak pandang bulu. Contohnya jika naik kapal, ada satu orang yang mungkar dengan mengebor kapal itu, maka seluruh isi kapal termasuk orang beriman akan ikut tenggelam.

Setelah Mustofa selesai berurai, saya pun memotong. “Sudahlah Pak, cukup masalah agama ini. Kita beralih ke yang lain, soal perubahan OB ini,” pinta saya.

Selanjutnya saya mengeluarkan amunisi, beberapa pertanyaan yang membuat eksistensi Mostofa sangat terusik. Misalnya tentang kabar bahwa OB menghambat FTZ hingga menempatkan porosnya di DPRD Batam. banyak lagi hal lain yang tak bisa saya sebut di sini.

“Ya. Saya sudah lama mendengar. Bahkan ada yang lagsung mengatakan lewat SMS. Namun seperti yang saya bilang tadi, bahwa manusia ini tak sama isi pikirannya!”

Selanjutnya saya potong lagi, lalu mengemukakan masalah yang lain lagi. Kali ini Mustofa tak bisa berlagak cool lagi.

“Itu tak bisa saya jelaskan di sini! Panjang ceritanya, waktu kita tak cukup!”
“Tapi saya kan harus tahu Pak. Saya adalah warga Batam. Jadi benar atau tidak apa yang saya saya sampaikan tadi?” kejar saya.
“Ya, nanti kita ketemu. Nanti akan saya jelaskan semuanya.”

Melihat rencana kian terarah, saya bom dengan satu pertanyan lagi. Kali ini Mustofa langsung bangkit dari kursi.

“Ya, seperti itu tadi, panjang penjelasannya, tak bisa sekarang. Saya harus menemui tamu. Ini sudah banyak yang nunggu,” ujarnya sembari memperlihatkan kertas kuning berisi memo yang dia terima dari staf protokoler.

Sesaat Mustofa menuju pintu keluar, saya bangkit keluar, karena pertemuan sudah berakhir. Tiba-tiba, Mustofa berbalik, lalu bertanya dengan lantang. Tak biasa saya melihat ekspresi Mustofa seperti ini saat di luar sana.

“Eh, kamu dari mana?!”
“Saya dari Jawa Timur Pak.”
“Oh ya sama, saya juga dari sana, Surabaya!”

“Ya, saya tahu itu. Bapak pernah mengatakannya pada saya di acara penyembelihan hewan kurban OB, usai salat Idul Adha tahun 2000 di Dataran Engku Putri. Saat itu Bapak bersama istri dan dua anak!”

Mustofa tampak kian bingung. Lalu dengan intonasi tinggi dia berkata, “Pantas saja bicara kamu meledak-ledak. Biasa memang orang dari sana (Jawa Timur) memang begitu!”
“Nanti kita ketemu! Akan saya jelaskan semuanya pada kamu!”

“Jangan sampai itu tak terjadi Pak. Saya akan tunggu kapan dan di mana!” jawab saya, lalu kami berpisah.

Tidak ada komentar: