Senin, 13 Oktober 2008

Pendapat

Sebuah thread posting bertanya, kenapa sih orang Indonesia kebanyakan susah dan takut untuk tampil mengemukakan pendapat? Bahkan temannya yang ketua RT-pun kadang paling susah untuk tampil dan memilih menunjuk rekannya. Ada apa ya?

Selanjutnya, scroll mouse saya langsung menjelajah tanggapan-tanggapan dari para netter di komunitas itu. Dari beberapa jawaban yang cukup bagus mengatakan, bahwa hal ini akibat sistem pendidikan yang kita yang kurang melibatkan siswa dalam proses belajar.

Siswa di Indonesia sudah lama dididik dengan komunikasi satu arah, doktrin dan dipaksa mendengar daripada berpendapat. Jika ada yang nekat melanggar, tak jarang banyak yang diintimidasi lalu dibungkam hingga mereka jera dan benar-benar mengerti bahwa ternyata mengemukakan pendapat itu tak baik bagi kelangsungan hidupnya.

Hingga kini, lanjutnya, sekolah-sekolah Indonesia masih melakukan hal semacam ini. Tak heran jika atmosfirnya santat beda dibanding sekolah-sekolah internasional yang kini berserak di Jakarta.

Di sana, siswanya sudah biasa mengemukakan dan berbeda pendapat, sehingga dalam bersosialisasi sudah tak terlalu canggung dan resisten saat menghadapi suatu pandangan yang berbeda dengannya.

Memang cukup beralasan juga. Sedikit ke belakang, memang pada mulanya metode pendidikan di Indonesia berasal dari pesantren. Metode yang dipakai di sana adalah weton dan sorogan. Metode ini umumnya hanya mempelajari ilmu dengan menghafal.

Dalam perkembangannya, tentunya kita masih ingat apa yang kita pelajari dulu saat SD, saat itu selalu saja kita diajak untuk menghafal dan mendengar begitu terus.

Saat itu para guru selalu menanyakan tentang apa, bukan mengapa. Sementara pintu diskusi tertutup rapat. Jadilah murid selalu menerima apa itu pemikiran guru. Padahal guru juga bukan bersih juga dari kesalahan.

Tak hanya itu, buku-buku pelajaran saat itu juga tak mengajar berpikir kritis yang ada hanya doktrin.

Tentunya kita masih ingat bacaan ini,
Ini Budi
Ini ibu Budi
Ini Pak Madi
Pak Madi Ayah Budi
Kerbau Pak Madi dua ekor (dan seterusnya).

Dari membaca buku ini, murid-murid selanjutnya disuruh menghafal. Tak ada dikisahkan di sini, mengapa kerbau Pak Madi dua ekor dan sebagainya. Terus murid-murid tak pernah ditanya, mengapa Pak Madi punya kerbau dan sebagainya. Yang penting dengar, tulis dan hafal bukan dengar, pikir, olah, tulis.

Hingga puncaknya pemerintah mengeluarkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang isinya harus dipatuhi dan tak boleh diganggu gugat.

Jika ada yang macam-macam, maka akan dikenakan pasal subversif lalu ditangkap karena dinilai melanggar arahan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo. Siapa yang tak ngeri.

Selain itu, para guru sendiri memposisikan diri sebagai orang tiran-tiran kecil. Jika ada murid yang memiliki pemikiran kritis barang setitik, maka dianggap melawan. Selanjutnya hukuman ceples (pangkal rambut dekat telinga ditarik), jewer dan selentik
sudah menunggu. Kalau bernasib “mujur”, disuruh berdiri di depan kelas.

Hal ini saya alami sendiri saat kelas VI SD. Kala itu Guru IPS menerangkan bahwa gunung tertinggi di dunia adalah Himalaya. Saya yang merasa itu salah lalu mengacung dan berkata bahwa Gunung tertinggi di dunia itu adalah Everest. Himalaya bukan gunung, tapi pegunungan.

Apa yang terjadi? Hingga pada minggu selanjutnya, saat pelajaran yang sama, saat itu ada kawan saya ngajak bicara, namanya juga anak-anak. Rupanya si guru melihat hal ini, lalu, “Plaaakkkk…” buku IPS setebal 100 halaman yang dipegangnya mendarat di belakang kepala saya. Keras sekali tamparan itu.

Dari sini saya sadar, rupanya saya didendam kerena guru ini merasa saya meruntuhkan wibawa dia saat “insiden Everest” terjadi.

Bagaimana dengan perilaku murid-murid yang lain? Juga tak kalah ganasnya. Mereka tak diajar untuk mendengarkan pendapat rekannya. Malah, terbiasa untuk nyeletuk dan ngejek dari belakang saat rekannya mengemukakan pendapat.

Akibatnya, jika tak kuat mental, kian jadilah ketakutan untuk tampil mengemukakan pendapat ini. Hal inilah yang terus terpupuk hingga dewasa. Maka tampillah sebuah generasi yang sebenarnya mengulang dari masa lalu; takut tampil di depan umum, tak terbiasa melihat dan mendengar perbedaan, suka mengejek atau nyeletik saat rekannya menyampaikan pendapat dan sebagainya.

Jika mereka jadi pemimpin, maka akan menjelma menjadi pemimpin yang mendikte dan otoriter *). Ngomooooong terus. Omongannya tak boleh dibantah, meski itu salah sekalipun. Kalau ada yang nekad, maka akan didendam, diintimidasi, dibungkam dan seterusnya.

Kalau sudah begini lalu apa? Yang tumbuh adalah tatanan, asal bapak senang, nggih-nggih kepanggih (ngomong iya, tapi tak dikerjakan), menjilat dan semacamnya.

_________________

Catatan:
*) Khusus yang ini saya memberi catatan, bahwa tak semua pemimpin model begini dihasilkan dari metode pandidikan yang searah. Bisa jadi karena sistem sosial, nilai yang dianut dan psikologinya. Sebab, orang sekaliber CEO Apel Steve Jobs pun sangat kasar. Suka berteriak, bahkan sering langsung memecat bawahan yang dinilai melakukan pelanggaran kecil, meski di lift sekalipun.

Tidak ada komentar: