Sabtu, 25 Oktober 2008

Sakit Pertama Regalia (2)

Rabu, pukul 04.00 pagi, saya tersentak dari tidur oleh pekik tertahan istri yang mengatakan Regalia muntah. Terhenyak, saya lalu berhambur menuju box bayi yang terletak di samping tempat tidur, tempat Regalia kami baringkan.

Saya terkejut bukan kepalang, melihat wajah dan sekitar dada Regalia penuh dengan muntahan susu. Sebelumnya, sekitar pukul 03.30 dini hari, saya memberikan 100 mili susu botol untuk Regalia yang terbangun karena lapar. Hal ini merupakan kebiasaannya saat bangun tidur.

Kontan saya bergerak cepat mengangkat Regalia, lalu memiringkan tubuh dan menepuk-nepuk punggungnya di pelukanku, sehingga pakaian yang saya kenakan basah oleh muntah.

Tindakan yang saya lakukan ini merupakan standar operasioanal saat bayi muntah. Tujuannya agar muntahan tak kembali masuk menuju rongga paru. Biasanya, selang menit baru bisa di beri susu lagi.

Setelah istri mengganti bajunya yang berlumur muntah, saya akhirnya mengganti baju dengan pakaian yang bersih lalu menggendong Regalia. Hampir pukul 05.00 saya menggendongnya, sambil berjalan mondar mandir mulai ruang rtamu hingga dapur lalu kekamar. Begitu terus.

Setelah lama digendong, Regalia kami baringkan. Kali ini tidak di box-nya, melainkan di tempat tidur kami. Dari sini saya berpikir ada apa gerangan? Muntahnya keluar begitu saja, nyaris tanpa pemicu.

Bersamaan dengan itu, saya peluk dan mencium keningnya. Agak sedikit hangat. Karena terlalu letih, akhirnya saya terlelap.

Mungkin karena terbawa perasaan haru, dan terus menahan agar tak terlihat oleh istri, sehingga semua ini terbawa dalam mimpi. Dalam mimpi itulah saya menangis sejadi jadinya, hingga sesenggukan. Tak lama saya tersentak.

“Ada apa Yah?! Tadi saya dengar tidurnya agak sesenggukan gitu?”
“Ah, tak apa-apa jawab saya, lalu melirik ke Regalia. Saya lihat dia terlelap.
“Kita kasih susu lagi Yah. Kasihan dia,” ujar istri.

Melihat tubuhnya lemas, sayapun setuju. Tugas ini saya lakukan, karena kasihan melihat istri yang sudah kelelahan menjaga Regalia yang terus rewel semalaman.

Tak lama, susu 50 mili itu bisa dia habiskan. Namun selang 10 menit, “Clashhh…” bagaikan air yang terlepas dari selang, Regalia kembali muntah. Saya langsung mendekap, memiringkan tubuhnya di dada sambil menepuk-nepuk punggungnya lagi.

Kali ini muntahnya cukup deras, sehingga tak hanya baju saya yang basah, namun juga lantai kamar. Bahkan saking derasnya muntahan, sampai-sampai nyiprat ke seprai. “Muntah lah Nak… Muntahkan semua sayang…” pinta saya, sembari memijit halus tulang punggungnya dan membawa ke belakang.

Dalam perjalanan ke belakang itu, Regalia kembali muntah sehingga berceceran di lantai. Dia terus muntah, meski isi perutnya sudah terkuras habis. Wajahnya tegang, “Hoak…. Hoak…”

Dari sini, saya mulai bergidik. Tak tega rasanya melihat pemandangan ini. “Ada apa Nak… Ada apa? Bilang pada ayah?!”

Tentu saja Regalia tak bisa menjawabnya, namun paling tidak komunikasi ini sudah menjadi sugesti baginya bahwa kami sangat peduli sehingga dia benar-benar merasa di tangan yang aman.

Selanjutnya saya kembali ganti baju, hingga stok pakaian rumahan habis. Sementara waktu sudah pukul 05.30. Regalia makin lemas, badannya makin panas, Kami pun mulai sedikit risau. Maklumlah baru pertama kali menghadapi peristiwa semacam ini. Untuk itu, kamipun mengontak orang yang lebih berpengalaman.

Istri menelepon ibunya, sedang saya menepon kakak tertua di Surabaya (karena saya sudah yatim piatu sejak kelas 3 SMA). Intinya sama; bagaimana menangani hal ini. Beragam resep yang didapat, namun tetap tak menentramkan hati.

Saat itulah saya teringat Ikbal. Ikbal lagi? Entah mengapa Ikbal selalu ada saat saya dalam krisis. Saya teringat akan kenalannya, namanya dr Asteria spesialis anak. “Dia dokter anak di Rumah Sakit Elisabeth. Orangnya baik Mas, dia kadang mau malayani kita lewayt SMS,” ujarnya saat itu.

Namun, tak mungkin saya telepon dia. Ini pukul 05.30 pagi Bung! Masih cukup gelap untuk ukuran Batam yang berada di garis paling barat WIB ini. Saya pun kirim SMS, isinya, “Udah bangun Bal? Penting banget nih.”

Kalau SMS ini dijawab, pasti Ikbal sudah bangun. Saat itulah aku bisa neleponnya. Jadi tak mengganggu. Namun harapan saya hampa belaka.

Saat itulah saya teringat Lilis Lishatini, redaktur Batam Pos. Saya ingat, dulu Asteria sering mengisi kolom konsultasi tiap hari Minggu di Batam Pos. Lilislah redakturnya. Saya SMS dia, “Udah bangun Teh?”

“Teh”. Begitulah saya memanggil mojang Pariangan itu. Asalnya dari kata “Teteh”, yang berartti “kakak” dalam bahasa Sunda.

Kali ini SMS berbalas. “Ya, ada apa?” Langsung saja saya meneleponnya, sembari meminta nomor Asteria. Selanjutnya nomor Asteria dalam bentuk bussiness card saya terima. Dari sanalah, harapan saya seakan timbul.

Saya SMS Asteria yang mengatakan ada hal apa sebenarnya. Namun tak berbalas. Lalu saya menelepon RS ST Elisabeth dan bertanya tentang dr Asteria dan kapan mulai buka praktik.

“Biasanya praktik jam 09.30. Tapi, jam delapan (08.00) bapak harus sudah di sini ya?” jawab suster rumah sakit di ujung telepon.

Hingga jelang pukul 06.30, kami memberi susu pada Regalia. Dan tak lama dia muntahkan kembali. Tak lama ponsel saya berbunyi, sebuah jawaban dari Asteria yang katanya, bisa jadi itu mentaber.

Meski sangat risau, namun bukan main gembiranya saya menerima SMS ini, seolah menemukan oase di padang gurun. Selanjutnya, saya telepon Asteria dan mulai menceritakan apa yang terjadi. Asteria pun menyarankan agar diberi obat penghilang muntah saja, namanya Vometa.

“Nanti ditetesin 0,40 mili saja, tiga kali sehari.”
“Sudahlah Dok, biar nanti kami bawa ke dokter saja. Biar Dokter periksa.”
“Baiklah kalau begitu. Nanti kita ketemu.” Ujarnya.

Legalah sudah. Sementara.

***

Pukul 07.40, kami berangkat ke St Elizabeth yang berada di Blok III Baloi. Jaraknya hanya 10 menit perjalanan dari rumah kami di Orchard Suite, Batam Center. Jika ditambah kemacetan lampu mereh Simpangjam, maka sekitar 20 menitan.

Hingga pukul 08.45, kami pun berhasil bertemu dr Asteria. Wajahnya memang keibuan, dengan rambut keriting sebahu.

Dengan melihat ruang praktiknya, saya sedikit bisa menganalisa profil Asteria yang sangat terorganisir dan cinta kaluarga. Hal ini tampak dari beberapa foto keluarga yang dipajang menonjol dari beberapa hiasan lain.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

maaf pak, bisa share no.telp DSA Asteria?

Unknown mengatakan...

Pak bisa share no hp dokter asteria ?
Sepanjang mlm ini anak kami panas tinggi.

Unknown mengatakan...

Pak bisa share no hp dokter asteria ?
Sepanjang mlm ini anak kami panas tinggi.