Jumat, 13 Juni 2008

Aku, Saya, dan Koran (1)


Tadi malam, kakak saya bertandang ke rumah. ”Agak sumpek membaca koran lokal akhir-akhir ini. Hanya menjadi ajang membangga-banggakan diri awak redaksinya saja,” katanya kusut.

Saya bertanya, apa contohnya. ”Ya banyak.”

Sejurus kemudian, dia mengambil koran yang dimaksud, lalu menyerahkan pada saya. Ternyata memang benar. Di sana banyak artikel yang ditulis awak redaksi yang membangga-banggakan dirinya sendiri.

Kalau hal tersebut sesuatu yang besar tak masalah, kadang hanya karena jari tengahnya pakai cincin saja ditulis. Yang paling kacau, mereka sering membanggakan betapa bebasnya dirinya beronani di media itu.

”Coba kamu jujur aja, seandainya ada orang lain yang menulis dirinya sendiri dan dikirim ke redaksi koran ini, apa mereka mau memuatnya? Paling juga diketawaian. Tapi giliran mereka bebas-bebas saja tuh. Macam majalah dinding anak SMA aja,” kakakku sewot.

Dia melanjutkan, sepanjang dia berlangganan Kompas belum pernah dia membaca tulisan petinggi medianya yang membangga-banggakan dirinya. Apalagi sampai menceritakan tentag keluarga, anak, istri, mertua, harta, dan lainnya.

Begitu juga di Tempo. Kakak saya sangat gemar membaca catatan pinggir Gumawan Muhammad, tapi yang dikupas di sana tentang kedalaman wawasan sang penulis. ”Bukan Gunawan yang kini telah jadi orang kaya, atau masalah keluarga,” selorohnya.

Intinya mereka, penulis hebat itu, selalu meletakkan hati di kaki bukannya selalu di atas kepalanya!

Kakak saya juga sempat mengeluhkan seringnya foto-foto di koran itu yang jadi ajang nampang para awak medianya. ”Mereka bikin media, isinya tentang mereka, lalu dijual ke kita. Tega sekali,” katanya.

----------
Keterangan Foto: Saya tengah membaca koran Aku

Tidak ada komentar: