Senin, 09 Juni 2008

Belajar pada Markus


Markus hanyalah seorang satpam di perumahan kami yang terletak di Batam Center. Usianya, menginjak angka 40. Rambutnya keriting, perutnya buncit, tingginya hanya 155 cm. Dengan postur tubuh seperti ini, Markus kayaknya kurang pas menjadi satpam.

Meski begitu, soal nyali jangan ditanya. Dulu saat perumahan kami masih jarang penghuni, Markus lah yang patroli tiap malam. Di tangannya menenteng klewang besar. Namun kini, seiring mulai padatnya penghuni, kebiasaan itu tak lagi dia lakukan. ”Kan sudah ramai Bos...” jelasnya.

Tunggu dulu... ”Bos?”
Ya, Markus kerap memanggil warga perumahan dengan sebutan ”Bos”. Karena itu pulalah, saya lebih memilih memanggil Markus dengan ”Bos”, dari pada namanya. Bahkan kini, gara-gara saya kerap memanggil demikian, nama ”Bos” lebih populer dari pada nama ”Markus” sendiri.

Dari diskripsi ini, jelaslah, bahwa Markus bukanlah siapa-siapa. lalu, kenapa saya memilih judul Belajar pada Markus. Karena ada yang bisa dipetik pelajaran dari lelaki ini, yaitu soal ketegarannya menghadapi hidup.
Di saat himpitan hidup di Batam yang serba mahal, ditambah lagi dengan naiknya harga minyak, Markus tetap sabar, penghasilannya sebagai Satpam yang minim tak membuatnya mengeluh.

Untuk ”menambal” dapur, menanggung seorang istri, dan seorang bayinya yang baru lahir, Markus memiliki sidejob dengan memulung. kebiasaan ini dia lakukan ketika jam kerja di pos berakhir.

Selain itu, dia kerap membantu warga merapikan taman. Dari sana, dia dapat selembar dua uang bergambar Sultan Palembang.
”Beginilah Bos. Kalau si Bos tak ada uang di kantong, mungkin di ATM masih ada. Tapi kalau saya, kalau tak ada uang, ya memang tak ada. Tapi ya bagaimana lagi, dinikmati aja Bos,” urainya.

Yang lebih menarik, soal kesantunannya terhadap binatang. Hal ini terbukti saat saya meminta dia meletakkan racun tikus di got. Sembari mengerjakan tugasnya Markus berucap yang dia tujukan pada binatang pengerat itu.
”Ini saya kasih makan, besok pagi saya ambil makanan (ini). Kalau (mau) makan, saya tidak suruh (dan) tak dilarang...”

Sayapun penasaran apa maksudnya. Markus menjelaskan, ini adalah kebiasaan petani di kampungnya, NTT. Tujuannya agar sang tikus tidak menaruh dendam jika nanti melihat kawan-kawannya mati. ”Ya kalau (racunnya) dimakan, salah sendiri Bos, kan saya tak nyuruh, tapi juga tak melarang!” sergahnya.

(Terimakasih Batam Pos sudah menerbitkan tulisan ini)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Revolusi Dangdut Ridho Rhoma
Tepat di Hari Raya Imlek, di sebuah acara Dangdut Never Dies yang disiarkan langsung TPI, Senin (26/1) malam, Rhoma Irama membuat kejutan dengan apa yang dia sebut revolusi dangdut ke 2. Melalui putra mahkotanya, Ridho Rhoma, dia coba membuat dangdut bangkit dari tidurnya.
Sama seperti gebrakannya di tahun 1970-an dulu, kalau dulu Rhoma memformat dangdut dengan sense of rock, agar bisa berdiri sejajar dengan musik rock yang saat itu mewabah, kini revolusi dangdut era Rodho harus band style, agar bisa sejajar dengan pop band yang saat ini meledak. Karena itulah, dangdut Ridho diformat lebih nge-band. Di Ridho, semua impian fans anak band ada, mulai vokalis tampan, blasteran, cerdas, suara merdu, musik yang easy listening, enerjik dan moderen.
Dari segi penampilan, Ridho Roma memang good looking. Wajahnya khas anak-anak blasteran Indo-Jerman. Darah Jerman mengalir dari ibunya, Ricca Rachim. Postur tubuh Ridho juga ateletis, six pack, kulitnya bersih, rambutnya ikal tak akan kalah jika disanding dengan Ariel Peter Pan dan Pasha Ungu. Ditambah lagi, selain piawai menyanyi dan bersuara merdu, dia juga fasih berbahasa Inggris.
Kemahiran Ridho Roma dalam bernyanyi, juga ditunjukkan saat dia membawakan lagu-lagu India yang memiliki kesulitan cengkok dan stanza maksimal. Ternyata Ridho bisa membawakan dengan baik. Cuma sayang, karakter vokalnya terlalu lembut. Itu saja.
Menurut Rhoma, pedangdut yang baik harus bisa membawakan lagu India, karena dangdut memiliki benang merah dengan musik India. Sama halnya musik pop yang berbenang merah dengan musik barat, atau qasidah yang memiliki benang merah dengan musik gambus.
Untuk mendukung penampilannya yang nge-band, Rhido juga diiring grup band, bernama Sonet II Band (baca: sonet tu ben) yang mayoritas personelnya diambil dari anak-anak personel Soneta. Berbeda dengan Soneta, Sonet II Band lebih simple. Personelnya hanya 5 orang. Di sini, perkusi tak terlalu dominan. Bahkan tamborin, yang selama ini identik dengan dang dut, juga tak ada.
Semua serba elektrik, dengan sentuhan alat musik moderen, seperti drum, keyboard, gitar, dan bass yang petikannya mirip jazz atau bossanova itu. Bagaimana dengan gendang? Tentu Sonet II Band tetap memakainya, karena ini adalah jiwa musik dangdut. Bedanya, gendang di sini bukan memakai ketipung, melainkan tabla. Namun, ketukannya tak terlalu cepat dan dominan.
Hasilnya, Sonet II Band mampu mengemas musik dang dut benar-benar beda, jauh dari yang ada saat ini seperti rock-dut, disko-dut, apalagi koplo. Kalau didengar, sepeintas mirip pop Arab, sebagaimana album Mahmoud El Essily (Tabaat W Nabaat) dan lain-lain. Namun, musik Sonet II Band lebih progresif dan inovatif degan sapuan ritmik musik yang easy listening, namun tetap elegan dan tak menghilangkan akarnya; musik dang dut. Sehingga, meski lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu daur ulang milik Soneta, namun terasa beda, lebih muda dan moderen.
Yang paling bagus saya nilai, saat Sonet II Band mengaransemen ulang lagu Menunggu, milik Soneta yang populer di tahun 1979 lampau. Rasanya lebih dinamis, enerjik, tak cengeng. Malah saya merasakan kok seperti mendengar alunan musik latin, atau musik progresif khas anak-anak Yovie & The Nuno, bahkan juga lagu Separuh Nafas milik Dewa 19.
Gebrakan yang disebut Rhoma sebagai revolusi ke II musik dangdut ini, untuk kembali membangkitkan musik ini, setelah tiarap akibat dihajar serbuan anak-anak band. Grup-grup band ini terus meraksasa, dengan segudang fans-nya. Sementara dang dut, kian terpuruk dan terpinggirkan.
Jika dulu mampu menembus dinding rumah mewah, kini kembali lagi ke kampung-kampung becek. Jika dulu mampu tayang di stasiun televisi bergengsi, kini bergeser ke televisi kalangan menengah bawah.
Sedikit mengulas, pada awal-awalnya dulu sekitar tahun 1950-an, dangdut memang sudah dikenal. Namun, derajatnya sangat rendah. Biasanya pementasannya digelar di kampung-kampung becek, menggunakan alat musik seadanya, umumnya akustik dan diterangi obor. Beda dengan musik pop dan jazz yang saat itu, menjadi musik gedongan dengan alat musik elektrik canggih dan panggung gemerlap.
Tak ayal, musik gendang ini memang kurang diminati bahkan mendapat diskriminasi. Musik ini dianggap kampungan. Kata “dangdut” sendiri sebenarnya adalah sebutan ejekan, karena dari kejauhan irama musik ini selalu terdengar men-dang dut oleh iringan gendang.
Hingga akhirnya dari Jawa Timur, Said Effendi muncul mengamas musik ini jadi lebih elegan. Namun namanya bukan ”dangdut” melainkan ”irama Melayu”. Said tak mau menggunakan nama ”dangdut”, karena dipandang kampungan.
Dari Said-lah lahirlah lagu-lagu Melayu semacam Bunga Seroja, Syurga di Telapak Kaki Ibu, Sabda Pujangga dan lain-lain, hingga membuat Said menerima berkarung-karung surat dari fans-nya kala itu.
Keberhasilan Said tak lepas dari inovasi yang dilakukannya. Said yang lahir dari penyanyi bergenre pop ballads itu, mengemas irama Melayunya dengan memadukan aransemennya dengan musik latin. Hal ini dapat kita dengar pada lagu-lagu hitnya, di antaranya Purnama Indah, dan Hayalan Suci.
Hasilnya, cukup fantastis dan ternyata banyak menyita perhatian, sehingga Said lebih dikenal sebagai penyanyi Melayu dari pada pop itu sendiri.
Irama Malayu ini kian berkibar dan mendapat tempat di hati masyarakat, selain karena berakar dari budaya, juga seiring politik antibarat Presiden Soekarno yang berujung pada mundurnya Indonesia menjadi anggota PBB.
Seiring dengan boomingnya irama Melayu ini, para pencipta pun bermunculan. Salah satunya yang paling dikenal adalah M Mashabi. Lagu-lagunya ketika itu, seperti Cinta Hampa, Kesunyian Jiwa, Untuk Bungamu dan lainnya, mendominasi tangga lagu Melayu ini.
Yang paling fenomenal adalah Husein Bawafy. Salah satu lagu ciptaannya, Bunga Seroja, masih berkibar hingga saat ini. Setelah dipopulerkan Said Effendi, di tahun 90-an saat kebangkitan ke tiga dangdut di Indonesia, lagu ini kembali digubah oleh biduan Iis Dahlia, dan terakhir, tahun 2008, jadi original soundtrack film laris, Laskar Pelangi (dinyanyikan Veris Yamarno berperan sebagai Mahar). Bunga Seroja juga populer di Malaysia, terakhir digubah penyanyi pujaan anak muda, Mawi.
Hingga di akhir 1960-an irama Melayu meredup. Kembali menjadi irama pinggiran. Bosan dan tak ada inovasi menjadi salag satu penyebabnya. Hingga di era 1970-an, saat irama jazz, rock dan pop ala anak-anak muda asal Liverpool Inggris, Beatles, menjamur, irama Melayu coba bangkit lagi.
Namun, kemunculannya terseok-seok. Ida Laila, Ellya Khadam (Boneka India) dan Mus Mulyadi, tak mampu menahan serbuan musik-musik berhaluan Eropa itu.
Hingga kemudian, muncul Rhoma Irama. Setelah sukses memenangi Festival Pop Singer di Singapura tahun 1972, Rhoma pun banting stir ke jalur musik ini. Saat itu, Rhoma belum mempopulerkan musiknya sebagai musik ”dangdut”, melainkan irama Melayu.
Hal ini tampak dari grup musik bentukannya, yang diberi embel-embel ”O M” Soneta. ”O M” di sini adalah kependekan dari orkes Melayu. Bersama Elvy Sukaesih Rhoma mulai menjajal belantara musik ini. Namun, aransemen musiknya masih tradisional, mengandalkan hentakan ketipung dan suling.
Hingga di akhir tahun 1970-an, Rhoma bersama OM Soneta-nya melakukan revolusi musik dangdut, dengan mengawinkan aransemen musiknya dengan haluan pop rock, khas Deep Purple. Menurut Rhoma, haluan ini dipilih agar musik dangdut bisa sejajar dengan band-band rock yang saat itu tengah meledak di negeri ini.
Rhoma, yang juga menciptakan sendiri lagu-lagunya itu, mengganti aransemen irama Melayu yang semula berbungkus accordeon, kearah sapuan jazz organ dan gitar listrik. Drum, perkusi, hingga trompet juga ikut main di sini.
Akibat keputusannya yang revolusioner itu, membuat hubungannya dengan Elvy Sykaesih pecah. Namun Rhoma tetap berlalu, sebagai gantinya dia menggaet Rita Sugiarto. Rhoma memperkenalkan musik barunya ini sebagai “musik dangdut”, bukan “irama Melayu”. Sebutan “dangdut” yang di era Said Effendi sangat dibenci itupun, dikenal hingga saat ini.
Tak ayal, dangdut Soneta berkibar. Album-albumnya yang kala itu bernaung di bawah Yukawi Record, meledak. Nama Rhoma Irama sendiri menanjak, dia dipuja masyarakat. Lagu-lagunya digemari, karena selain enak didengar juga syair-syairnya banyak berhaluan dakwah.
Meski begitu, Rhoma banyak juga menelurkan single tentang kritik sosial, sampai-sampai Orde Baru di awal 1980-an, harus mencekalnya tampil di muka umum bahkan TVRI, televisi satu-satunya saat itu, karena lagu ciptaannya, seperti Pemilu dan terakhir Indonesia, dinilai mengkritik kebijakan Orba saat itu.
Keterlibatan Rhoma dalam politik praktis PPP, juga menjadi alasan Orba perlu menekan Soneta, agar posisi Golkar sebagai kendaraan Soeharto tak goyah. Sekadar diketahui, dulu Orde Baru banyak memakai artis sebagai cara memperluas pengaruhnya. Umumnya mereka banyak bernaung dalam wadah “Artis Safari”.
Tak hanya dari penguasa, dari kalangan musisi sendiri Rhoma banyak dihujat. Adalah saat itu Jack Lesmana. Musisi jazz ayah Indra Lesmana (musisi) dan Mira Lesmana (sutradara) tersebut, paling keras mengkritik. Menurutnya, memadukan unsur rock dan dangdut sangat keterlaluan. “Mana ada rujak dicampur sosis,” ujarnya.
Selain itu, Rhoma dalam hal ini Soneta, banyak konflik dengan anak-anak band yang mengusung musik cadas, seperti Ahmad Albar (Godbless). Mereka risih, musik yang diusungnya didang-dutkan.
Hingga di era 1980-an, dang dut meredup, kembali ke pinggiran. Hingga di awal 1990-an irama dangdut ini muncul dengan konsep baru, pop dang dut. Heidy Diana-lah yang pertama mempopulerkannya. Publik pun tersentak, Heidy Diana, model cantik yang ngepop itu, mau nyanyi dang dut.
Dang dut pun tak lagi identik dengan Ida Laila dan Elvy Sukaesih lagi. Dang dut kini bisa cantik, bisa asyik juga. Dang dut rupanya tak hanya untuk orang miskin, juga untuk orang kaya. Dang dut tak hanya lagu truk-truk Pantura, tapi juga sedan mewah!
Hingga akhirnya Jefry Bule melakukan eksperimen mengawinkan dang dut dengan disko remix yang memang saat itu sedang musim. Maka, muncullah Merry Andani, Anis Marcella dan lain-lainnya itu. Di sini tak ada lagi accordion tak ada lagi suara gendang, yang ada adalah gocekan piring hitam khas disc jockey diskotek. Pencipta lagu yang negtop saat itu adalah Jalis Adiluhung.
Dari sinilah dang dut kembali booming, berevolusi dan berkembang pesat hingga tahun 2000. Artis-artis yang mampu berbinar selama era tersebut adalah Iis Dahlia, Evie Tamala, Ikke Nurjanah, hingga Nini Karlina. Bahkan Doel Sumbang yang selama ini tekun di Pop, aktif dengan lagu setengah dang dutnya itu. Tak hanya itu, grup dangdut juga booming. Siapa yang tak kenal dengan Manis Manja Grup, Artis-artis MSC, atau PMR? Mereka semua lahir dari zaman itu.
Kebangkitan dangdut inipun mulai diperhitungkan, tak hanya di panggung terbuka, juga di layar kaca. Bahkan, badio-radio khusus dang dut pun banyak bermunculan. Tuntutran pasar inilah, yang sanggup meruntuhkan arogansi RCTI, sebagai stasiun televisi swasta yang semula menabukan tayangan dangdut, menjadi welcome. Mereka pun mengemas acara dangdutan, Joged, dengan Liza Nathalia sebagai ikonnya.
Tak ayal, lahan dang dut pun jadi lahan basah, yang sebenarnya menjadi awal keterpurukan musik ini sendiri. Artis-artis bermodal tampang pun banyak hijrah ke musik ini. Tak ada album pun tak masalah, sebab bisa bawa lagu-lagu Soneta. Yang penting mau goyang, sudah asyik.
Terakhir di awal 2000-an dari Jawa Timur, dangdut koplo merebak. Dari panggung di kampung-kampung kecil dan tempat pelacuran, irama ini terus bergerak. Koplo, sebutan orang Jawa bagi orang mabuk. Ciri khas musik ini adalah suara gendang yang bertalu sepanjang lagu. Ritmenya cepat, mirip irama tabla.
Yang bikin hot, umumnya dangdut koplo selalu menebar goyang vulgal para biduannya. Dari sinilah muncul Inul Daratista, Trio Macan, Dewi Persik dan lain-lainnya itu. Goyang mereka yang seronok, kontan membikin publik tersentak. Pro-kontra pun timbul, setelah di awal 2002 musik ini dibawa ke televisi. Namun sensasi ini tak bertahan lama. Lama-lama, cekal pun bermunculan yang membuat musik dang dut ini kian terpinggirkan.
Hal lain yang mengakibatkan dang-dut terpuruk, karena tak ada inovasi lagi. Artis-artisnya hanya mengandalkan tampang saja. Lagu-lagu yang dibawakan hanyalah lagu pop yang ngetop saat ini, namun diaransemen ulang, didangdutkan. Maka, kian bosanlah masyarakat.
Terakhir, didapat fakta bahwa musik ini kian terpinggirkan. Jadwal manggung kian lesu. Apalagi, masyarakat sudah menemukan cara memuaskan keinginannya akan lagu-lagu bercengkok yang lebih sopan, pada band-bang baru semacam ST 12 dan Kangen Band.
Inilah saatnya, musisi dangdut diuji, apakah mereka mampu menggairahkan musik ini kembali ke panggung terhormat dengan menemukan inovasi baru, seperti yang sudah dilakukan Said Effendi (almarhum), Rhoma Irama atau Jefri Bule. Kita tunggu saja.