Rabu, 11 Juni 2008

Tidurlah Nak (2)

Tak lama kemudian, Putri kami menjerit lagi, mertua saya sibuk lagi, istri pun juga demikian. ASI hingga susu botol kembali disodorkan. Namun begitu milky time itu usai, putri kami menjerit lagi.

Saat itu, kepala saya terngiang nasihat saudara di Surabaya. ”Coba tebarkan garam di teras rumah, biar anak tak menangis,” jelasnya. Selanjutnya, dibantu mertua saya menuju dapur mencari garam. ”Jangan yang halus, ini pakai garam yang kasar,” pesan ibu mertua saya.

Dengan sigap saya kembali ke teras, lalu garam itu saya sebar sembari berdoa agar sang anak tak lagi menjerit. Al hasil, putri kami tak lagi menangis. Waktu sudah menginjak pukul 03.00.

Namun putri kami kembali menjerit. ”Ah mungkin ari-arinya nggak disiram,” kata mertua. Tak mau ber lama-lama, saya kembali ke teras lalu menyiram kuburan ari-ari itu. Memang tak lama diam, tapi tak lama menjerit lagi.

Saya, istri, ibu mertua mulai kebingungan. ”Ada apa nak?” tanyanya pada putri kami, berharap ada jawaban.

”Nak, tatap wajah ayah,” pintaku, putri kami menurut. Tak tega saya melihatnya. Dia terus menjerit.

”Apa AC-nya terlalu dingin? Eh, tapi enggak, ini juga sudah 29 derajad,” pikirku, sembari mengarahkan pandangan pada istri. Kasihan memang, gurat-gurat kelelahan terukir di wajahnya. Tak heran jika ada ungkapan surga di telapak kakinya.

”Ah mungkin dia masuk angin,” ibu mertuaku coba menafsir. Ujung jemarinya mengetuk-ngetuk perut putri kami. ”Tug tug tug...” begitu buyinya. ”Ini bunyi angin. Coba cari minyak telon,” pintanya. Tapi, ke mana minyak telon itu?

Tidak ada komentar: